Oleh: Nor Aniyah, S.Pd
Menjelang datangnya bulan Ramadhan, kita semua telah disambut dengan naiknya harga bahan-bahan pokok. Harga kebutuhan pokok seperti daging ayam, telur dan gula pasir yang sudah naik bertambah makin naik. Hari ini mau tenang menjalankan ibadah, namun kenyataan mengusik. Mau makan apa sahur ini? Nah, bagaimana tidak membuat para ibu rumah tangga menjadi tambah pusing tujuh keliling? Malah kian dibuat bingung saja dengan benturan masalah baru, pasokan kebutuhan dapur.
Menghadapi permainan kartel membuat pemerintah mulai kewalahan. Yang seenaknya memainkan harga. Lantas apa yang bisa dilakukan? Pemerintah seolah membenarkan diri, membiarkan masyarakat berpikir bahwa mereka merasa tak berdaya menghadapi permasalahan ini. Kalau sudah begini, rakyat kembali disuruh mengencangkan ikat pinggang.
Apakah perkara habis? Belum. Rupanya tak hanya di situ saja. Masyarakat juga harus kembali bersiap menghadapi masalah yang baru. Kok, bisa? Benar. Pasalnya, pemerintah bakal menaikkan tarif listrik lagi. Subsidi listrik akan dicabut. Nah, apakah ini hadiah di akhir bulan Ramadhan? Tepatnya kado spesial lebaran, yang tak diharapkan oleh rakyat.
Meski masih menunggu keputusan dari Presiden Joko Widodo (Jokowi) terkait pencabutan subsidi listrik 90 VA. Namun, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said mengatakan, pencabutan subsidi listrik akan dilakukan setelah hari raya lebaran. Berarti, kenaikan tarif dasar listrik (TDL) tinggal menunggu gongnya!
Informasi sebelumnya, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengusulkan penambahan subsidi listrik Rp 18,8 triliun dalam rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Perubahan 2016. Subsidi listrik yang diajukan pun sebesar Rp 57,18 triliun, sedangkan subsidi listrik yang telah ditetapkan dalam APBN 2016 sebesar Rp 38,39 triliun.
Berdasarkan data verifikasi PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) dengan Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K), tercatat sebanyak 18 juta dari 45 juta pelanggan listrik 900 VA seharusnya tidak lagi menggunakan listrik berdaya 900 VA (Republika.co.id, 09/06/2016).
Pemerintah menilai pencabutan subsidi lisrik 900 VA ini tak akan terlalu memberatkan masyarakat. Sebab pengguna listrik berkapasitas 900 VA merupakan masyarakat kelas menengah. Pemerintah beranggapan akibat penundaan pencabutan subsidi listrik ini pun membuat beban anggaran di APBN semakin bertambah. Pemerintah berharap bisa segera menjalankan pencabutan subsidi ini, karena khawatir jika terus ditunda maka bebannya akan makin bertambah. Benarkah demikian?
Pemerintah mengatakan bahwa TDL ini akan naik bertahap, namun seperti yang sudah-sudah nanti akan dihilangkan supaya rakyat mandiri. Karena kemandirian rakyat kunci sukses pembangunan. Jadi, mentalitas yang ingin dibangun di masyarakat adalah jangan membebani pemerintah. Kalau sudah seperti ini, semakin menunjukkan bahwa memang negara sudah mulai berlepas tangan.
Negara telah abai dalam mengurusi. Kenapa para penguasa masih bisa jalan-jalan ke luar negeri dan menggunakan fasilitas mewah? Sementara mengaku tak punya uang, sehingga subsidi rakyat makin dipangkas, sedangkan untuk asing malah disubsidi habis-habisan dengan berkedok investasi.
Ini sungguh berbanding terbalik. Dalam pengaruh sistem kapitalisme semua sumber daya alam, harta kepemilikan rakyat ini dicuri oleh kaum penjajah lewat tangan-tangan penguasa antek. Sungguh ironis! Hidup di zamrud khatulistiwa, namun rakyat tak bisa sejahtera. Kepentingan rakyat makin tak dipikirkan. Pelayanan terhadap rakyat dikesampingkan demi keuntungan diri, kroni, partai dan kekuasaan mereka sendiri. Patut dipertanyakan, para penguasa itu sebenarnya menjadi wakil siapa. Apakah benar pelayan rakyat atau pelayan asing?
Padahal sebagai pengampu amanah yang mengurusi urusan rakyat. Sudah semestinya negara menjalankan tanggung jawabnya ini. Tidak boleh berlepas tangan dan memanfaatkan kekuasaan demi kepentingan. Karena, kekuasaan yang ada saat ini akan dipertanggungjawabkan di yaumil hisab. Benarkah sudah menjalankan amanah tersebut?
Islam telah mewajibkan negara untuk benar-benar menjadi pelayan rakyat. Mengurusi rakyat sesuai dengan syariah. Mereka melakukannya karena dorongan ketakwaan dan sadar betul amanah yang tengah mereka emban. Ini adalah amanah besar. Penguasa harus benar menjadi pengurus umat.
Menurut teori ekonomi syariah Islam, harta kekayaan yang ada di muka bumi mempunyai kejelasan status kepemilikan. Hal ini tidaklah seperti teori ekonomi kapitalis yang memandang bahwa seluruh harta kekayaan di muka bumi bebas dimiliki oleh individu. As-Syeikh Taqiyuddin an-Nabhani menyebutkan bahwa status kepemilikan harta dalam Islam dikategorikan dalam tiga kelompok, yaitu: pertama, kepemilikan individu. Kedua, kepemilikan umum. Ketiga, kepemilikan negara (lihat Taqiyuddin an-Nabhani, an-Nizhom al-Iqtishadi fi al-Islam). Dan listrik merupakan bagian dari energi (an-naar) yang merupakan kepemilikan umum; yakni penetapan negara sebagai wakil rakyat untuk mengatur produksi dan distribusi tersebut untuk kepentingan rakyat.
Jadi, hal yang paling mendasar adalah bahwa energi merupakan hak umum (public ownership), sehingga tidak boleh diprivatisasi. Negara Khilafah harus bisa menjamin kebutuhan rakyat akan energi ini dan menjadikannya sebagai sumber kekuatan negara. Khusus untuk konsumsi kebutuhan energi rakyatnya, negara Khilafah bisa menempuh dua kebijakan. Pertama, mendistribusikan minyak, gas dan energi lainnya kepada rakyat dengan harga murah. Kedua, Khilafah dibolehkan mengambil pendapatan dari pengelolaan energi untuk menjamin kebutuhan rakyat lainnya, seperti pendidikan, kesehatan, keamanan termasuk terpenuhinya sandang, papan dan pangan masyarakat.
Sesuai pandangan Islam, negara tidak boleh mengeruk keuntungan dari semua kepemilikan umum tersebut, apalagi diserahkan kepada asing. Menjadikan listrik sebagai komoditi yang dengan seenaknya bisa diperjualbelikan kepada rakyat adalah tindakan menzalimi rakyat. Demikian pula memberikan kesempatan kepada pihak swasta dan asing untuk menguasai komiditi listrik juga dapat dikategorikan sebagai pengabaian amanah yang diberikan rakyat kepada negara untuk mengelola listrik demi kepentingan seluruh rakyat. Karenanya, jika sekalipun rakyat harus membayar listrik tidak boleh sampai membebani, itu hanya sekadar untuk menutup biaya operasional atau biaya produksi tanpa harus membayar biaya keuntungan (lihat Ab-durrahman al-Maliki, as-Siyasatu al-Iqtishadiyatu al-Mustla).
Di bulan yang penuh dengan balutan ketakwaan totalitas kepada Allah SWT ini sudah selayaknya menjadi bahan renungan bersama. Sungguhnya pengelolaan listrik oleh negara tidak berjalan dengan sendirinya. Pengolaan ini terikat pada kesatuan sistem Ilahi yang sempurna. Ini hanya mampu diwujudkan dalam penerapan totalitas sistem dan ketakwaan para pengampu kekuasaan dalam naungan Khilafah Islamiyah. Khilafah merupakan sistem syar’i yang dicontohkan Rasulullah saw dan para sahabat yang dapat membebaskan umat dari permasalahan ketidakstabilan energi, harga listrik dan harga hajat hidup lainnya. Khilafah pula yang akan mengambil alih pengelolaan dan pemilikan seluruh sumber daya energi dari korporasi dan negara asing. Dengannya, penguasa akan mampu melakukan pengurusan masyarakat sesuai syariah sehingga mampu menuai berkah yang telah Allah SWT janjikan. WalLah a'lam bi ash-shawab.[]
Dimuat di: Radar Banjarmasin
2 Juli 2016
#MuslimahBanuaMenulis
Komentar
Posting Komentar