Oleh: Nor Aniyah, S.Pd
Pada Rabu 30 Mei 2018, Kantor Radar Bogor didatangi oleh sekolompok massa yang mengatasnamakan dari PDIP Bogor. Mereka datang sambil marah-marah, membentak dan memaki karyawan. Bahkan mengejar staf melakukan pemukulan, merusak properti kantor. Aksi kekerasan yang dilakukan oleh kader PDIP ini berawal dari keberatan headline Radar Bogor berjudul "Ongkang-ongkang Kaki Dapat Rp 112 Juta".
Hal itu, merupakan pelanggaran hukum yang dapat dikategorikan perbuatan pidana yang sangat mengancam demokrasi dan kebebasan pers di Indonesia. Lebih jauh lagi, sikap tersebut sangat bertentangan dengan Pancasila yang notabene Ketua Umumnya adalah sebagai Ketua Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP).
Kekerasan dan perusakan kantor Radar Bogor merupakan salah satu tindak pidana kekerasan terhadap orang dan barang secara bersama-sama sebagaimana dalam Pasal 170 ayat 1 KUHP. Ancaman pidananya penjara lima tahun enam bulan atau penganiayaan sebagaimana dalam Pasal 351 ayat 1 KUHP dengan ancaman pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan. Sedangkan, perusakan alat-alat kantor merupakan bentuk dari tindak pidana perusakan sebagaimana Pasal 406 ayat 1 dengan ancaman pidana penjara dua tahun delapan bulan.
Tindakan dari PDIP tersebut juga merupakan sebuah tindak pidana yang tercantum di dalam UU Pers Pasal 18 ayat 1 yang menyebutkan: "Setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (Lima ratus juta rupiah)". (http://m.republika.co.id/amp_version/p9liwk282).
Sejumlah jurnalis yang tergabung dalam organisasi menggelar aksi solidaritas terhadap Radar Bogor di Sepanjang jalan Sudirman-Thamrin, Jakarta, Sabtu 2 Juni 2018. Mereka menyesalkan adanya tindakan persekusi dan intimidasi maupun segala bentuk kekerasan dalam menyelesaikan masalah. Forum pekerja media juga menginginkan Kepolisian mengusut tuntas agar tidak terjadi kembali.
Namun sangat disayangkan, Kepala Divisi Hubungan Masyarakat Polri Inspektur Jenderal Polisi Setyo Wasisto menyatakan, kasus penggerudukan kantor berita Radar Bogor oleh simpatisan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) tidak mengandung pidana (http://m.republika.co.id/amp_version/p9qrlr349).
Pembentukan BPIP dengan anggaran yang besar di tengah problem hutang yg menumpuk dan tingkat kemiskinan yg msh tinggi merupakan kebijakan tak bijaksana. Saat masih banyak rakyat miskin yang mesti dientaskan, banyak yang menilai kebijakan penguasa kurang tepat justru uang ratusan juta sekadar untuk gaji para pembina Pancasila yang baru dibentuk. Maka, maayarkat pun menyuarakan respon mereka. Namun, inilah hipokrisi demokrasi dalam kebebasan menyampaikan pendapat dan kritik.
Menyampaikan pendapat dalam bingkai kepentingan rezim bukti kegagalan demokrasi menjamin penyampaian kritik kepada kalangan penguasa. Di dalam demokrasi saat ini, koreksi terhadap kebenaran sudah seperti jadi bumerang. Keadilan hanya seperti ilusi. Faktanya, yang memiliki kuasa itulah yang akan dimenangkan, walau bagaimana juga. Harus diunggulkan, tak peduli caranya itu menabrak aturan yang ada.
Firman Allah SWT: Kalian adalah sebaik-baik umat yang dihadirkan untuk seluruh umat manusia; maka kalian (harus) menyeru pada kemarufan dan menolak kemunkaran. (TQS. Ali Imran: 110)
Menurut Islam, memberikan koreksi adalah kewajiban setiap muslim. Diungkapkan dengan cara yang lugas, santun dan kata-kata yang baik (ahsan). Supaya bisa mengingatkan yang terkhilaf atau tersalah jalan kembali lagi dalam yang benar (haq).
Rasulullah saw. telah bersabda: "Pemimpin para syuhada adalah Hamzah bin Abdul Muthalib dan seseorang yang berdiri menentang penguasa zalim dan ia terbunuh karenanya." (HR Abu Dawud).
Apalagi terhadap penguasa, umat pun wajib untuk membantu penguasa dengan selalu menemani dan membantunya setiap saat dalam menjalankan pemerintahan. Seperti, saat shalat berjamaah, imam lupa suatu bacaan berarti makmumlah yang harus mengingatkan.
Sesungguhnya fungsi penguasa adalah mengurus dan memelihara urusan rakyat dan menjalankan hukum syara.' Bukan sekadar untuk menguasai rakyat. Sehingga, rakyat dibolehkan melakukan koreksi kepada penguasa, meskipun pada saat yang sama mereka harus taat terhadap penguasa, namun ketaatannya ini bukan dalam perkara maksiat.
Dalam sistem Islam, rakyat diberi ruang untuk melakukan muhasabah kepada penguasa agar tidak melakukan kedzaliman. Khalifah sangat terbuka dan dekat dengan rakyat. Tentu tidak sekadar buat pencitraan. Khalifah benar-benar datang ke desa dan pasar untuk mengetahui keadaan rakyatnya. Mendengarkan aspirasi rakyat untuk menyejahterakan rakyat.
Penguasa dalam pandangan Islam tidaklah mashum, seperti manusia lainnya, mereka mungkin melakukan kesalahan dalam mengurus urusan masyarakat. Karena itu, kontrol dan koreksi harus dilakukan, demikian pula pertanggungjawaban terhadap urusan rakyat.
Bahkan, ketika ada perselisihan antara penguasa dan rakyat, dapat diselesaikan melalui Mahkamah Mazalim. Hal ini dapat menunjukkan bahwa tidak ada seorang pun yang memiliki kekebalan hukum, meskipun itu adalah seorang Khalifah (kepala negara). Tetap akan diadili. Sebab,setiap warga negara dalam memiliki kedudukan yang sama di depan hukum, dan diperlakukan sama di depan syariat Islam.
Dalam sistem Islam, bila ada penguasa yang dzalim rakyat berhak memberikan nasihat, berupa muhasabah dan koreksi. Ketika penguasa menyalahgunakan kekuasaanya, maka bisa langsung ditindak. Mungkin sampai diberhentikan tanpa menunggu berakhirnya masa jabatan.
Contohlah perbuatan Khalifah Umar bin Khaththab yang sangat tegas dalam menegakkan kebenaran. Namun, tak segan untuk mendengarkan suara rakyat. Entah itu dari kalangan rakyat biasa, seorang wanita atau anak kecil sekalipun. Sehingga keadilan benar-benar bisa dirasakan.
Begitulah mentalitas yang diajarkan oleh Rasulullah saw, baik itu penguasa, para hakim (qadhi) hingga masyarakat umum, semua mengedepankan takwa. Akhirnya, hanya takut kepada Allah SWT. Mereka sangat takut ketika berbuat dzalim, atau menutupi kebenaran demi sekadar materi dan jabatan, karena semua akan diminta pertanggung jawaban kelak di hari perhitungan amal.
Di zaman yang penuh tantangan ini, teruslah sampaikan kebenaran. Melakukan koreksi dan muhasabah harus selalu dilakukan untuk mendapatkan keridhaan Allah SWT dan menunaikan kewajiban dari-Nya. Tak perlu takut akan kesusahan dan ancaman makhluk dunia. Sebab, hanya kepada pemilik dunia inilah kita layak merasa takut dan memohon perlindungan.[]
*) Penulis dari Komunitas Muslimah Banua Menulis. Berdomisili di Hulu Sungai Selatan (HSS), Kalsel.
Dimuat di: Radar Banjarmasin (Sabtu, 23/06/2018)
Komentar
Posting Komentar