Oleh: Nor Aniyah, S.Pd
Menanggapi berita yang ramai akhir-akhir ini, disiarkan di televisi juga. Tentang makanan kaleng yang ada temuan cacing. Rasa ngeri. Membuat sebagian masyarakat sampai tidak mau memakan dan membeli makanan kaleng itu lagi.
Kronologis penemuan berawal pada tiga merek makanan kaleng yang semuanya impor. Penemuan cacing dalam kemasan sarden kaleng produk luar ini mulai diperbincangkan di Provinsi Riau. Temuan itu pertama kali di Inhil, kemudian berlanjut ke Kabupaten Kepulauan Meranti.
Ternyata, selain di dua kabupaten tersebut, pihak Balai Besar Pengawasan Obat dan Makanan (BBPOM) Kota Pekanbaru juga menerima laporan pengaduan soal temuan cacing dalam kemasan sarden kalengan, di tiga kabupaten lainnya di Provinsi Riau.
Kemudian berita yang terbaru dari IPB yang menyatakan bahwa tidak aman mengkonsumsi makanan yang mengandung cacing karena bisa menyebabkan bahaya bagi tubuh, menganggu kesehatan bisa berupa alergi.
Temuan cacing anisakis sp (sebelumnya sempat disebut cacing gilig) dalam ikan kemasan yang beredar di wilayah Riau jadi perhatian serius Balai Besar Pengawasan Obat dan Makanan (BBPOM) di Pekanbaru. Sampai saat ini BBPOM telah mengamankan tiga produk yang di dalamnya ditemukan cacing tersebut. Yakni Farmer Jack, IO, dan Hoki. diketahui, tiga merk tersebut merupakan barang Impor yang masuk melalui Kepri.
Tidak berselang lama, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) menarik 27 produk ikan makarel dari pasar. Sebab, 27 merek (138 bets) tersebut positif mengandung parasit cacing, terdiri dari 16 (enam belas) merek produk impor dan 11 (sebelas) merek produk dalam negeri (https://news.idntimes.com/indonesia/indianamalia/27-produk-ikan-makarel-ditarik-dari-peredaran-menkes-cacing-berisi-protein).
Terkait dengan makanan kaleng atau biasanya mudah disebut dengan sarden, sebagian masyarakat memang suka dengan makanan tersebut. Apalagi para anak kost, dan mahasiswi misalnya. Mie, telor, dan sarden sudah menjadi bahan makanan simpanan selama satu bulan. Kenapa? Karena praktis, tidak perlu membersihkan, mencuci, dan menggarami terlebih dahulu seperti pada ikan biasa. Sarden praktis, tinggal dipanaskan dan dimasak sesuai selera, sudah bisa siap saji. Apalagi saat padatnya perkuliahan, praktikum, mengerjakan tugas. Maka, sarden menjadi andalan.
Nah, kalau ibu-ibu di rumah biasanya memilih sarden sebagai alternatif, baik untuk menyiasati waktu memasak dan mengurus rumah, variasi jenis makanan, atau bekal saat bepergian. Bahkan, saat bulan puasa ketika mau makan sahur juga mau praktis. Langsung menggunakan sarden sehingga tidak perlu repot.
Ikan kaleng berarti ikan yang dalam proses pengolahannya mempunyai standar tertentu. Dalam pengawetan, dengan penambahan bahan kimiawi, kemudian dikalengkan. Ada batas kadaluarsa. Jadi, sebenarnya kalau proses dalam pengolahannya, pengawetan, pengalengan sudah sesuai dengan standar, maka secara teorinya tidak akan ada masalah.
Kalau kita lihat sangat menyedihkan, di tengah negara maritim yang punya laut dan sungai dengan ikan segar di lautan. Masyarakat harus termakan cacing dari makanan impor. Akibat dari kecurangan para produsen dalam sistem Kapitalis demi mendapatkan keuntungan, maka cara apapun digunakan.
Makanan kaleng impor mengandung masalah. Menunjukkan lemahnya negara melindungi rakyat. Kalau ternyata ada temuan seperti ini, patut dicurigai ada masalah dalam proses tersebut. Dari segi bahan baku yang tidak sesuai standar. Proses pengolahannya yang tidak memenuhi sesuai standar. Atau bagian pengalengan dan masa pakai yang tidak terperhatikan dengan cermat, bisa jadi masalah kadaluarsa.
Perlu pengawasan ketika barang itu keluar dari pabrik, sebelumnya sudah ada qualited control-nya. Ketika pengawasan juga mestinya dicek tidak boleh ada kaleng yang penyok, terbuka atau rusak. Supaya memperkecil ada celah terjadi kesalahan di sana.
Kemungkinan ada persoalan dalam proses entah dalam pemilihan bahan baku, proses pemasakan, dan dari pengemasan, atau dari masa pakai. Dalam hal ini negara terkesan masih lalai melindungi rakyatnya dalam mengkonsumsi makanan yang halal, khusus masuknya makanan baik dalam negeri sendiri maupun impor bagi rakyatnya.
Kalau kita bandingkan dengan Islam, itulah pentingnya qadhi hisbah yang memantau. Sehingga tidak akan terjadi hal-hal yang melanggar hak dan kenyamanan masyarakat. Kalau memang ada terjadi seperti permasalah makanan kaleng ini, maka produk yang bermasalah tersebut akan segera ditarik dan dilakukan pengawasan ketat.
Akan tetapi, saat ini banyak kalangan pejabat negara yang berkomentar, tidak menunjukkan empati dan merasakan seperti apa rakyat. Misalnya, seperti kemarin waktu daging sapi mahal rakyat disuruh makan keong. Sekarang ada masalah cacing ada yang menyatakan, "Tidak apa-apa cacing akan mati juga ketika dimasak. Kalau mati, proteinnya bagus juga untuk dimakan." Padahal yang mengeluarkan pernyataan itu pun sebenarnya belum tentu mau memakannya juga.
Padahal sangatlah penting peran penguasa dalam hal ini, karena penguasalah yang memiliki tanggung jawab mengatur. Sangat disayangkan adalah para penguasa saat ini yang tidak berempati. Kalaupun si cacing tersebut katanya mengandung protein, yang namanya makanan menjijikkan termasuk kategori yang tidak boleh.
Firman Allah SWT: Wahai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syetan; karena sesungguhnya syetan itu adalah musuh yang nyata bagimu. (TQS. Al-Baqarah: 168)
"Dan dia mengharamkan bagi mereka segala yang khobaaits (menjijikkan)." (TQS. Al-A'raf: 157).
Oleh karena itu, perlu kontrol ketat negara menangani pangan. Karena, makanan yang thoyyib belum tentu halal. Yang halal pun belum tentu thayyib. Maka, ketika kita mencari makanan haruslah yang halal dan thayyib. Haruslah pula yang halal, sehat dan bergizi. Perlu pangan yang sehat untuk mewujudkan generasi yang hebat.[]
*) Pemerhati Masalah Sosial dan Remaja, Penulis dari Muslimah Banua Menulis." Berdomisili di Hulu Sungai Selatan (HSS), KalSel.
Dimuat di: Remaja Islam Hebat
(http://www.remajaislamhebat.com/2018/04/pangan-sehat-untuk-generasi-hebat.html?m=1)
Komentar
Posting Komentar