Oleh: Nor Aniyah, S.Pd*
Mencari berbulan-bulan, habis dipakai sehari. Curhatan seorang ibu, tetangga. Kesal dengan anak gadisnya. Gara-gara terpanasi teman. Belanja persiapan untuk lebaran.
Demi baju, tas dan 'hape' baru. Gensi dengan teman. Apalagi pas momen lebaran. Berbagai cara pun dipikirkan. Ada yang minta ke orang tua, ada rela bekerja. Mencari uang sendiri. Tak luput dilakukan oleh remaja putri.
Namanya, kaula muda. Masih belum berpengalaman. Menuruti keinginan. Kadang, ingin cepat sukses. Tanpa kerja keras, maunya jalan pintas.
Seperti sudah jadi rahasia umum. Sudah mulai dulu, sampai sekarang. Kenapa sepertinya sulit dibabat? Apakah sudah jadi tradisi yang mengakar kuat?
Hal ini mengkhwatirkan. Akhirnya, berbuat apa saja. Jadilah perbincangan. Pantas saja, kemudian memunculkan fenomena ''warung malam" di sepanjang Ramadhan.
Kalau dulu kata orang tua, warung malam ini memang hanya buka di malam hari. Karena untuk menghormati orang berpuasa, maka diaturlah jadwal dan aktivitasnya. Berjualan selepas ibadah taraweh. Dulu hanya berjualan kue dan makanan biasa.
Sekarang, sudah berubah. Ditambahkan dengan layanan. Plus gadis belia yang menunggui warungnya. Menjual "panderan" berupa pembicaraan mengasyikkan. Bukanya semalaman. Anak gadis dengan sedikit menjual senyuman menggoda. Secangkir kopi bisa dihargai dengan lima puluh sampai ratusan ribu rupiah.
Sungguh aneh. Saat Ramadhan orang beramai-ramai meningkatkan amalan. Beribadah, shalat tarawih berjamaah. Ini malah membuat resah. Membuat suasana kurang nyaman.
Bulan yang hanya satu kali saja dalam setahun. Tidak sadarkah, kalau selama bulan puasa ini segala amal akan dibalas dengan berlipat ganda? Termasuk maksiat, yang akan diganjar dengan berkali lipat. Tidak sadarkah?
Warung remang-remang. Meski ada aturan terkait pelarangan dari yang berwenang. Tetap saja, ditutup satu pindah ke tempat yang lain. Makin ke pedalaman, makin banyak ditemukan. Yang membuat miris, ternyata ada juga yang berstatus sebagai pelajar setingkat SMP. Ini pengakuan salah satu penunggu warungnya sendiri.
Banyaknya keinginan. Untuk tampil baru menjelang akhir Ramadhan. Masjid mulai sepi. Yang tambah ramai adalah pusat belanja. Atau pasar-pasar dadakan. Yang menjual pernak-pernik untuk bergaya saat hari raya.
Sudahlah membuka aurat. Saat ditegur sewot. "Ini urusanku. Kalau berhenti siapa yang mau menanggung biaya hidup kami?" Begitu kilahnya.
Apa yang terjadi pada remaja hari ini cukup mengiris hati. Terlalu dini terlilit berbagai masalah sulit. Narkoba, seks bebas, putus sekolah dan berbagai hal yang sering dianggap sebagai akibat kenakalan mereka. Tidak boleh dibiarkan dalam keterpurukan. Harus kita selamatkan kehidupan dan masa depan mereka.
Perlu ada pembenahan dari diri kita, masyarakat juga negara. Pertama, dari segi ketakwaan remaja yang kadang masih naik-turun. Kaum beremosi labil. Sering berbuat sesuka hati. Memandang saat lebaran harus tampil beda dari hari biasa. Karena dari segi mentalnya mudah terbawa oleh pengaruh teman dan lingkungan. Perlu kiranya untuk menstabilkan ketakwaan remaja lewat pembinaan Islam intensif. Agar remaja bangga dengan pribadinya sebagai seorang Muslim. Tidak mudah terlena keadaan.
Kedua, masyarakat kadang menganggap masalah ini biasa. Karena rendahnya rasa peduli. Bahkan, ada orang tua yang menyuruh anaknya. Karena alasan ekonomi keluarga dan sulitnya mencari kerja. Padahal ini disebabkan berkuasanya para pemilik modal dalam sistem kapitalisme. Terjadilah ketimpangan. Yang kaya sejahtera, yang miskin makin menderita.
Masyarakat sekitar harusnya jadi masyarakat Islami. Tidak cuek. Tidak membiarkan. Tidak mengompori dengan gaya hidup mewah. Bila ada tetangga kesusahan berusaha membantu. Bila ada yang tersalah, meluruskan pada yang benar. Dalam sistem sosial Islam, masyarakat jadi bersemangat menyerukan perbaikan. Ber-amar ma'ruf nahi mungkar.
Ketiga, peran Negara. Ini paling penting. Negara ada untuk menjaga takwa dengan penerapan Islam secara kaffah. Negara. Membina dan menanamkan ketakwaan setiap orang lewat kurikulum pendidikan Islam. Menumbuhkan mental untuk berlomba dalam kebaikan.
Terkait peran kepala negara dalam Khilafah Islamiyah, Rasulullah saw bersabda, "Seorang imam (khalifah) adalah tameng atau perisai, dimana di belakangnya umat berperang, dan kepadanya umat berlindung." (HR. Muslim)
Negara berkewajiban menjamin terpenuhinya kebutuhan pokok masyarakat. Setiap orang tidak dibolehkan menghalalkan segala cara untuk bekerja. Negara wajib menyediakan lapangan pekerjaan. Membuat para wali mampu menafkahi tanggungannya. Bagi yang tidak mempunyai wali, dalam Islam negara wajib menyantuni.
Bila negara sudah menerapkan sistem Islam secara sempurna, akan dijamin pula segala kebutuhan sandang, pangan, pendidikan, dan kesehatan. Barulah, negera menerapkan sanksi bagi orang yang masih ngeyel bermaksiat, "kada pamaasian," terus melakukan berulang-ulang. Negara berperan menjaga keamanan.
Nah, mari kembali pada makna hakiki Idul fitri. “Kemenangan” yang kita raih setelah sebulan penuh berusaha menjalankan ketaatan secara kaffah. Semoga ketaatan kita inipun terus berlanjut ke bulan berikutnya. Salah satunya dengan cara berpenampilan. Tak masalah bila harus tampil sederhana. Bersahaja di hari raya.[]
*) Pemerhati Remaja
Komentar
Posting Komentar