Oleh: Nor Aniyah, S.Pd*
Libur lebaran ke mana? Di rumah saja? Banyak yang berwisata dengan temannya. Ada juga yang berkumpul bersama keluarga. Hari raya terasa kurang lengkap bila tak dirayakan.
Masih ingatkah sebulan berpuasa? Tentu. Kenangan saat perjuangan. Berjuang menahan dari yang membatalkan. Yang halal, seperti makan saja ditahan. Apalagi yang haram semisal aktifitas pacaran. Harus ditinggalkan. Kalau tidak, pahala puasanya berkurang. Bahkan bisa batal. Alhamdulillah, kita berhasil memenangkan perjuangan tersebut.
Dapatkan Takwa
Dapat apakah kita dari puasa? Ada yang merasa bahwa puasa itu berat. Hanya dapatkan lapar dan dahaga. Ada yang bersyukur. Lumayan, turunkan berat badan. Diet dari makanan. Jadi langsing deh!
Dari semua jawaban, ada satu yang mestinya diimpikan. Puasa Ramadhan diwajibkan kepada kita disertai dengan hikmah istimewa. Yakni, membina jadi insan bertakwa.
Firman Allah SWT: "Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa, sebagaimana puasa itu telah diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian, agar kalian bertakwa." (TQS. Al-Baqarah [2]: 183).
Ali bin Abi Thalib ra. menerangkan makna filosofis “takwa.” Ada tiga unsur dalam takwa. Pertama: al-khawf min al-jalîl (takut kepada Allah, Zat Yang Mahagagah). Kedua: al-‘amalu bi at-tanzîl (mengamalkan wahyu yang diturunkan). Ketiga: al-isti’dâdu li yawmi ar-rahîl (mempersiapkan diri menghadapi Hari Kiamat). Takwa lahir dari keimanan, diwujudkan dalam bentuk pengamalan hukum Allah yang telah diwahyukan, untuk meraih kebahagiaan hari kemudian.
Dari istilahnya, dapat disimpulkan takwa merupakan terpeliharanya diri untuk tetap taat melaksanakan perintah Allah SWT dan menjauhi segala larangan-Nya. Takwa menyeluruh (kaffah).
Tidak setengah-setengah. Ataupun memilih-milah. Karena dien Islam kita memang komprehensif (syumuliah), yaitu tidak hanya mengatur aspek ibadah ritual, tapi mengatur segala aspek kehidupan. (Lihat QS. Al Ma`idah [5]: 3; QS. An Nahl [16]: 89). Karena itu, Islam membutuhkan eksistensi negara atau kekuasaan untuk menjalankan hukum-hukum Islam secara menyeluruh.
Disebutkan dalam kitab Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyyah Juz 6 hlm. 164: “Umat Islam telah sepakat mengenai wajibnya akad Imamah (Khilafah), juga telah sepakat bahwa umat wajib mentaati seorang Imam (Khalifah) yang adil yang menegakkan hukum-hukum Allah di tengah mereka, yang mengatur urusan mereka dengan hukum-hukum Syariah Islam yang dibawa oleh Rasulullah SAW. Tidak ada yang keluar dari kesepakatan ini, orang yang teranggap perkataannya saat berbeda pendapat.”
Ibadah dalam rangka takwa dalam kehidupan mencakup segala hal. Tidak sekadar shalat, puasa, zakat, haji. Juga mengatur berjual-beli. Berteman. Hingga berbangsa dan bernegara. Semua ini membutuhkan institusi sebagai pelaksananya, yakni Khilafah Islamiyah. Hal ini telah dipraktikkan oleh para sahabat (Khulafaur Rasyidin), tabi'in, tabi at-atabi'in dan generasi setelah mereka, lebih dari 14 abad lamanya.
Menjaga Takwa
Hari raya adalah hari di mana seluruh dosa diampunkan. Menang dan mendapatkan kemuliaan. Kembali pada kesucian.
Namun sering kita lihat, banyak yang "buka tutup" dalam ketaatan. Di kalangan muda-mudi misalnya, selama Ramadhan berkerudung dan berjilbab. Menutup aurat dengan sempurna. Setelah Ramadhan berakhir, ditanggalkanlah pakaian takwa tersebut. Terus, yang aktivitas pacaran break sementara puasa, malah disambung lagi habis hari raya. Ini parah!
Kalangan dewasa tak jauh berbeda. Usai puasa, mulai lagi aktivitas riba. Bertransaksi tidak syar'i. Manipulasi. Bahkan, penguasa menunjukkan ketidakadilan. Menerapkan system yang menyalahi aturan Tuhan.
“Ini kan sudah selesai bulan Ramadhan?” Begitu dalih pembenaran. Agar kembali lagi pada sekularisme. Pemisahan aturan Tuhan dari aktivitas keseharian, selepas Ramadhan. Ini gawat, bukan?
Seharusnya kita semua berusaha agar habits (kebiasaan) yang sudah dibangun selama puasa tetap terjaga. Yang mulai rajin ibadah, alangkah bagusnya diteruskan. Yang rajin baca Al-Qur'an dilanjutkan semangatnya. Menghafalkan, mengamalkan dan menerapkan Al-Qur'an dalam kehidupan.
Intinya, istiqamah bertakwa. Terus berusaha meningkatkan keimanan. Tidak berhenti sampai penghujung Ramadhan.
Istiqamah, menempuh jalan (agama) yang lurus (benar) tanpa berpaling ke kiri maupun ke kanan. Istiqamah dalam melaksanakan semua bentuk ketaatan kepada Allah SWT, lahir dan batin; meninggalkan semua bentuk larangan-Nya. Sebagaimana pengertian istiqamah yang disebutkan oleh Ibnu Rajab al-Hanbali.
Imam an-Nawawi dalam Bahjah an-Nâzhirîn, Syarh Riyâdh ash-Shâlihîn juga berkata, “Para ulama menafsirkan istiqâmah dengan: luzûm thâ’atilLâh, artinya tetap konsisten dalam ketaatan kepada Allah SWT.”
Jadi, hari raya mestinya mengingatkan untuk selalu bersyukur kepada Allah SWT. Senantiasa menyadari hubungan dengan-Nya. Menjalankan ketaatan sebagai wujud ketakwaan dalam seluruh aspek kehidupan. Tidak hanya selama Ramadhan, tapi juga di sebelas bulan lain.
Karenanya, mari bertakwa terus-menerus. Taat syari'ah secara kaffah. Takwa semuanya, baik diri kita, keluarga, masyarakat, dan negara.
Semoga kita terus memperoleh kemenangan di tiap hari sepanjang tahun ini. Hingga bisa bertemu kembali dengan Ramadhan tahun depan. Aamiin.[]
*) Pemerhati Remaja & Penulis Buku “Ramadhan And Me”
Komentar
Posting Komentar