Oleh: Nor Aniyah, S.Pd
"Saya yakin orang itu di bawah pengaruh gendam. Semua itu terjadi karena pengaruh kapitalisme yang serba pragmatis atau instan, sehingga masyarakat mudah tertipu," kata Katib Syuriah PWNU Jatim, Syafrudin Syarif. (Liputan6.com. 02/10/2016).
Sekitar 2.180 orang menjadi korban kasus heboh penipuan dengan penggandaan uang ala Dimas Kanjeng Taat Pribadi. Tak tanggung-tanggung penipuan ini juga merambah ke skala internasional. Tak hanya pribumi asli, tapi juga melibatkan banyak kalangan dari luar negeri. Kasus ini sebenarnya sudah lama, namun terbongkar setelah ada peristiwa perencanaan pembunuhan pengikutnya.
Ada yang menduga Dimas Kanjeng Taat Pribadi menggunakan gendam untuk membuat orang sadar dan bisa diperintah melakukan apa saja, termasuk menyetorkan uang dalam jumlah tertentu untuk digandakan. Dengan modus membayar mahar yang bisa menjadi berlipat setelah beberapa saat. Rupanya semua hanya muslihat. Tersihir dan takjub perkara ghaib. Saat korban sadar, harta sudah raib.
Uang dan perhiasan melimpah, siapa yang tidak mau? Apalagi tanpa kerja keras, tinggal menanti di rumah. Tak peduli segala cara ditempuh. Sekalipun lewat jalur yang tidak wajar. Karena pengkultusan, percaya iming-iming janji yang tak pasti. Akhirnya, kewarasan tak berjalan lagi dan korban berhasil dikibuli.
Dalam sistem hidup kapitalisme, kebutuhan hidup kian melangit dan rakyat menjerit. Sebagian masyarakat mulai tercekik penghidupan yang sulit. Tak jarang segala macam cara untuk menghasilkan materi pun akhirnya dilakoni tanpa berpikir rasional lagi. Ikut-ikutan. Siapa tahu bisa mendatangkan rizki, meski dengan cara yang menyalahi.
Apakah kalangan melarat saja yang jadi pengikutnya? Tidak juga. Ternyata sebagian tergolong kaya, namun bermental serakah. Harta yang sudah melimpah, ingin terus bertambah. Menggandakan uang agar bisa beranak-pinak. Itulah keinginan yang tamak. Silau melihat harta yang bertumpuk-tumpuk, tak peduli didapat dengan cara syirik.
Apakah mereka orang kurang berpengetahuan sehingga mudah diperdayakan? Tampaknya, bukan. Tak hanya kaum petani atau buruh biasa, tapi juga ada aparat negara, militer hingga kaum terpelajar menjadi pengikutnya. Bahkan, ketua yayasan padepokannya adalah seorang doktor lulusan Amerika sekaligus pengurus ICMI dan MUI. Lantas kurang apalagi, sehingga penipuan ini bisa terjadi?
Memang kriminalitas berupa penipuan berkedok agama ini sudah kerap terjadi. Malah, semakin menjadi. Yang pernah mencuat sebelumnya juga ada yaitu Gatot Brajamusti. Dan sekarang, penipuan oleh Dimas Kanjeng Taat Pribadi. Begitulah, semakin suburnya penipuan dengan berkedok agama ini, memang cocok dengan kondisi masyarakat kini. Masyarakat yang cenderung mabuk harta, menghalalkan segala cara untuk tujuan, minim iman, serta maraknya fenomena pengkultusan.
Tak hanya penggandaan uang, praktik perdukunan memang cukup marak di negeri ini. Banyak kalangan yang biasa menggunakan jasa perdukunan dan paranormal untuk memuluskan berbagai kepentingan. Dari yang kelas teri untuk meminta penglaris dagang. Hingga kelas kakap berkelas. Lihatlah, di setiap momen pilkada atau pemilu, beberapa caleg atau calon kepala daerah ramai minta bantuan lewat “alam lain” biar bisa menang.
Segala praktik perdukunan, paranormal dan takhayul seperti ini jelas hukumnya adalah haram. Tidak boleh dibiarkan. Harus diberantas dan dilarang. Sabda Rasulullah saw:
"Siapa saja yang mendatangi seorang peramal, lalu dia bertanya kepada dukun itu tentang suatu hal, maka shalatnya tidak akan diterima selama empat puluh malam." (HR. Muslim).
"Siapa saja yang mendatangi seorang dukun atau peramal, lalu membenarkan apa yang dikatakan dukun atau paranormal itu, maka dia telah kafir terhadap apa (al-Quran) yang diturunkan kepada Muhammad saw." (HR. Ahmad).
Inilah dampak sekulerisme, kebebasan berpikir dan beraqidah dan hilangnya penjagaan negara sejak dini. Krisis aqidah. Ya, penjagaan negara terhadap akidah Umat saat ini memang lemah, bahkan tidak ada. Terang saja, karena negara tengah menganut paham sekularisme, pemisahan agama dari kehidupan. Jadi, seolah negara “tidak penting” memikirkan hal itu.
Saat ini sekularisme telah menyebar. Sekularisme yang jadi pegangan dalam untuk memisahkan perihal agama dari berkehidupan negara. Agama hanya menjadi urusan orang per orang saja. Penguasa negeri yang berdiri atas berkat rahmat Allah SWT, seperti kacang ang lupa pada kulitnya. Saat telah memegang jabatan aturan Allah SWT dipinggirkan.
Kita lihat dalam sistem ekonomi, yang tak lepas dari praktik riba yang jelas dalam agama haram, namun kian merajalela. Ditambah kini segala perdukunan, penipuan dan penistaan agama kian menjadi tak terkendali, karena dibiarkan saja oleh penguasa. Negara tidak hadir menjaga akidah umat. Negara tengah mengalami pelemahan dari berbagai sisi, terutama dalam penjagaan terhadap agama. Padahal peran negara dalam penjagaan agama sangatlah penting. Karena, negara dan agama sejatinya saling berkaitan untuk menopang.
Imam Al-Ghazali dalam kitabnya, Al-Iqtishad fi al-I'tiqad, menyatakan, "Agama dan kekuasaan adalah dua saudara kembar ... Agama adalah pondasi (asas) dan kekuasaan adalah penjaganya. Segala sesuatu yang tidak punya pondasi niscaya akan roboh dan segala sesuatu yang tidak memiliki penjaga niscaya akan musnah."
Agama dan negara tak boleh terpisah, harus selalu bersanding dalam satu wadah. Semua hal permasalahan ada jawabannya dalam agama kita yang sempurna. Cara pemilikan dan pengelolaan harta sudah ada dalam pedoman hidup kita, Al-Qur’an. Yaitu, dengan bekerja, jual beli dan mu'amalah terkait harta yang syar'i dalam sistem ekonomi Islam.
Demikian pula, dalam cara bernegara telah ada aturannya dalam agama, yaitu harus sesuai dengan aturan yang digariskan Allah SWT. Bernegara dengan menerapkan syariah Islam yang kaffah dalam Khilafah Islamiyah. Tentu, jika semua menggunakan agama, baik rakyat maupun negara, tak akan ada lagi fenomena penggandaan harta dengan cara berdosa. Dengan penerapan sistem Pencipta, harta yang ada akan berkah dan terus berganda pahala, baik di kehidupan sekarang maupun di kehidupan selanjutnya setelah dunia. []
Komentar
Posting Komentar