Oleh: Nor Aniyah, S.Pd
Di antara banyak pernikahan yang terjadi di negeri ini, rupanya perceraian juga memiliki peringkat yang tinggi. Pernikahan bernuansa bahagia di pelaminan, harus kandas dalam beberapa bulan. Bahkan, ternyata tingkat perceraian di Tanah Air kita ini merupakan salah satu yang tertinggi di dunia.
Anwar Saadi, selaku Kasubdit Kepenghuluan Direktorat Urais dan Binsyar Kementerian Agama membenarkan peningkatan tren perpisahan suami istri di negara ini. Berdasarkan data yang diperoleh sejak tahun 2009-2016, terlihat kenaikan angka perceraian mencapai 16 hingga 20 persen.
"Jadi memang perceraian ini semakin meningkat dari tahunnya. Meski kenaikan tak melonjak, ini cukup mengkhawatirkan," kata Anwar.
Hanya pada satu tahun saja angka perceraian sempat turun. Yakni 2011, sebanyak 158.119 ribu perceraian dari 285.184 ribu sidang talak setahun sebelumnya. Adapun rekor angka perceraian tertinggi dalam setahun terjadi pada 2012. Kala itu palu hakim yang mengesahkan perceraian diketok 372,557 kali. Artinya, terjadi 40 perceraian setiap jam di Indonesia (merdeka. com. 20/09/2016).
Pernikahan adalah hal yang sakral. Ikatan seumur hidup. Berjanji setia mengarungi bahtera rumah tangga bersama. Ini menjadi pondasi awal, yang diambil saat pertama ingin melangkah pada tahap menuju keluarga harmonis. Namun, janji sehidup semati ini rupanya tak abadi. Keluarga Indonesia tengah dirundung masalah. Ada apa gerangan? Ikatan suci harus berakhir di meja hijau dalam sehari.
“Angka permohonan cerai gugat yaitu cerai permohonan yang dilakukan oleh istri lebih banyak dari angka permohonan cerai talak, atau cerai permohonan dari pihak suami. Angka cerai gugat mencapai 70,5 persen dan angka cerai talak hanya 29,5 persen.”
“Ke depan, kita akan mengadakan kursus persiapan pernikahan. Jadi yang hendak nikah, harus mempunyai sertifikat nikah,” kata Menag Lukman Saifuddin.
Istri minta cerai. Kalau melihat saat dulu, kaum wanita begitu takut bila berstatus janda. Ia takut terhadap cemoohan masyarakat dan beban hidup yang berat. Namun, sekarang nampaknya sudah tidak lagi. Seperti biasa-biasa saja. Tidak ada ketakutan semacam itu. Masyarakat sekitar pun kadang menganggapnya biasa.
Apakah tren perceraian ini berbahaya? Tentu saja, bahkan kini bisa dikatakan sebagai darurat perceraian. Ketika sedang menghadapi darurat narkoba, darurat kekerasan anak dan lain sebagainya, ternyata ketahanan keluarga semakin rapuh. Terjadi sekitar 40 perceraian/jam. Kini Indonesia juga darurat perceraian. Namun, pemerintah mengantisipasi dengan kursus pranikah. Cukupkah? Jelas tidak cukup. Karena kerapuhan ini dipengaruhi oleh berbagai faktor. Tak sekadar kurangnya ilmu persiapan nikah.
Umumnya, ada empat faktor penyebab terjadinya perceraian. Mulai dari ketidakharmonisan, pertengkaran dan perselisihan, tidak adanya tangungjawab suami, masalah ekonomi, dan adanya orang ketiga (perselingkuhan). Namun, dari keempat faktor tersebut yang menonjol adalah karena faktor ekonomi dan tidak ada tanggung jawab dari pihak suami.
Nah, bila dicermati gugat cerai 70% dan cerai talak 30%, mengapa lebih banyak perempuan yang menggugat cerai? Apakah ada faktor kesetaraan gender? Jelaslah ada hubungannya. Hari ini kaum perempuan mulai berlomba mengejar eksistensi dan kemewahan. Melakukan segala hal yang bisa mendatangkan materi. Bahkan, terkadang menabrak fitrahnya sendiri. Tak jarang terjadi rusaknya pernikahan dan mengesampingkan urusan rumah tangganya demi karier semata.
Padahal keluarga merupakan institusi perlindungan pertama anak. Bila keluarga rapuh, maka akan rapuhlah generasi. Dan keluarga bertopang pada ibu yang mendidik generasinya. Jadi, peran ibu sangatlah penting.
Maraknya perceraian dengan pihak istri selaku penggugat menunjukkan cermin bahwa wanita telah memiliki kemampuan untuk menanggung kebutuhan hidup sendiri. Ini tidak lain, dari pemahaman yang telah tertanam bahwa wanita juga mampu hidup tanpa pria.
Telah nyata kapitalisme kini mengeluarkan para perempuan dari rumah. Perempuan diperdayakan untuk memainkan peran demi menolong sistem ekonomi yang mulai sekarat. Melalui berbagai cara, para wanita dibujuk untuk turut berdaya. Sehingga punya kemampuan ekonomi dan membantu kesejahteraan dirinya dan keluarganya. Sekarang, telah berkembang keyakinan bahwa "wanita juga bisa menjadi tulang punggung keluarga." Ini terjadi dengan alibi sulitnya ekonomi.
Penerapan sistem kapitalisme membuat negara gagal melepaskan perempuan dari kemiskinan. Negara telah gagal memberikan keamanan dan penjagaan kehormatan perempuan. Karena sistem ini, hanya mampu mengeksploitasi perempuan. Dan dampak pahitnya adalah ancaman rusaknya keluarga, yang berakibat langsung pada anak korban perceraian. Tak ada lagi benteng bagi mereka dalam menangkal semua serangan negatif dari luar, karena keluarga yang telah hancur.
Sebenarnya, jauh di lubuk hatinya, perempuan pun sangat tersiksa. Tapi, mereka tak tahu harus berbuat apa. Kadang karena indahnya materi dan karier dunia membuat mereka tak mendengarkan kata hatinya. Kata hati yang memanggil mereka untuk berada di rumah, bermain, mengurus dan bersama anak-anak mereka. Namun, semua tak diindahkan demi keindahan semu. Gaya hidup "wah" dan karier yang sukses menutup mata para wanita akan fitrahnya, menjadi istri, ibu dan pendidik generasi.
Dalam Islam, sejatinya perceraian memang bukanlah hal yang terlarang. Perceraian tidak dilarang dalam agama kita sekalipun dibenci oleh Allah SWT. Nabi saw. bersabda, “Perkara halal yang paling dibenci oleh Allah ialah talak.” (HR Abu Dawud)
Pada masa Rasulullah saw. pun ada seorang perempuan yang meminta cerai dari suaminya dan diizinkan oleh Rasulullah. Saat itu istri Tsabit bin Qais bin Syammas mendatangi Nabi saw. seraya berkata, “Wahai Rasulullah, aku tidak membenci Tsabit dalam agama dan akhlaknya. Aku hanya takut kufur.” Rasulullah saw., bersabda, “Maukah kamu mengembalikan kebunnya kepada dia?” Ia menjawab, “Ya.” Lalu ia mengembalikan kebun itu kepada Tsabit dan dan Tsabit pun menceraikannya. (HR al-Bukhari).
Apabila keluarga tidak lagi harmonis dan tak ada jalan keluar terbaik bagi mereka, maka cerai pun menjadi jalan terakhir. Namun, melihat tingginya angka perceraian kini seolah-olah ada yang salah dalam bahtera keluarga. Tiada lagi kenyamanan, perlindungan dan kesamaan tujuan untuk kehidupan berkeluarga ke depan. Hingga, nikah seakan tidak lagi bernilai ibadah.
Kita sadari, jika ketahanan keluarga rusak maka ketahanan negara juga ambruk. Karena dari keluargalah sumber daya manusia yang membangun negara dilahirkan. Dalam hal ini, negara mestinya memperhatikan. Negara tentu akan mempermudah proses pernikahan dan menjaga agar bangunan keluarga bisa tetap kokoh bertahan. Bersama mewujudkan cita-cita generasi sesuai pedoman risalah Ilahi.
Oleh karena itu, hanya dengan sistem Islam yang kaffah dalam naungan Khilafah Islamiyah kesejahteraan perempuan dalam keluarga akan terjamin. Karena yang berkewajiban untuk menanggung penafkahan bagi mereka yaitu suami atau walinya, dan jika tidak ada maka akan menjadi tanggungjawab negara. Tak akan ada lagi terjadi perceraian karena alasan ekonomi. Sehingga, jika negara bersedia menerapkan tuntunan Sang Pencipta, maka ketahanan keluarga bangsa pun akan terjaga.[]
(*Seorang pendidik generasi, tinggal di Kandangan, HSS, Kal-Sel
Komentar
Posting Komentar