Oleh: Nor Aniyah, S.Pd
Keresahan memuncak. Kala mendengar kabar vaksin palsu baru-baru ini. Betapa tidak, khususnya para ibu saat sang buah hati akan divaksin. Terlebih, rupanya cukup sulit membedakan antara vaksin asli dan palsu. Karena secara tampak mata mirip, hampir tak ada perbedaan. Hanya hasil laboratorium yang mampu membuktikan kepalsuannya.
Menteri Kesehatan Nila Moeloek dalam rapat dengan Komisi IX DPR, hari Kamis (14/07) mengatakan, “Terdapat 37 fasilitas kesehatan, termasuk 14 rumah sakit, yang diduga menggunakan vaksin palsu.”
Polisi juga mengatakan dugaan pemalsuan ini sudah berlangsung sejak 2003 dan didistribusikan ke seluruh Indonesia. Keuntungan yang didapat dari praktik itu mencapai Rp25 juta setiap minggu (bbc.com, 14/07/2016).
Direktur Tipideksus Bareskrim Polri, Brigjen Agung Setya dalam jumpa pers di Mabes Polri, Jalan Trunojoyo, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Jumat (15/7/2016) berujar, "Saya sampaikan perkembangan (penanganan kasus) vaksin palsu, kita tetapkan tersangka menjadi 23 orang. Ada penambahan 3 orang tersangka baru."
Menurut Agung, para tersangka memiliki peran berbeda. Ada yang menjadi produsen, distributor, pengumpul botol bekas, pencetak label, bidan serta dokter. "Terdiri dari beberapa peran, produsen 6, distributor 9, pengumpul botol bekas 2, bidan 2, dan dokter 3. Total 23 orang," jelas dia (detik.com, 15/07/2016).
"Takut. Lebih baik tidak divaksin saja!" ungkap beberapa ibu mencemaskan anak mereka terhadap vaksin palsu ini. Terlebih, jika tetap mau melakukan vaksin yang bagus, tentu harus ke dokter spesialis anak. Butuh biaya tidak sedikit. Hingga ratusan ribu rupiah, sekali vaksin. Jadi, sebagian masyarakat memilih tidak divaksin saja. Ini memilukan! Bagaimana seharusnya kita menyikapi hal ini?
Vaksin yaitu suatu mikroba (berupa bakteri atau virus) yang telah dilemahkan. Vaksin dapat berfungsi membantu merangsang sistem kekebalan tubuh terhadap penyakit tertentu. Adapun vaksinasi adalah penyuntikan mikroba yang telah dilemahkan tersebut untuk merangsang sistem kekebalan tubuh terhadap mikroba sehingga tubuh mampu menghasilkan antibodi untuk mencegah penyakit. Vaksinasi bekerja dengan merangsang sistem kekebalan tubuh, melawan penyakit dengan sistem alami tubuh. Vaksinasi ini kadang perlu beberapa kali penyuntikan untuk tujuan memperkuat efektifitasnya.
Terkait realitas vaksinasi dan hukumnya, dalam soal jawab bersama asy-Syaikh al-‘Alim Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasythah dijelaskan bahwa vaksinasi adalah termasuk pengobatan. Berobat hukumnya adalah mandub, bukan wajib. Dalilnya antara lain:
Imam al-Bukhari meriwayatkan dari jalur Abu Hurairah, ia menuturkan: Rasulullah saw bersabda: "Tidaklah Allah menurunkan penyakit kecuali Allah turunkan obat untuknya."
Imam Muslim telah meriwayatkan dari Jabir bin Abdullah dari Nabi saw, beliau bersabda: "Untuk setiap penyakit ada obatnya, dan jika obat itu mengenai penyakit, maka sembuh dengan izin Allah azza wa jalla."
Maka, vaksinasi hukumnya mandub. Sebab vaksinasi adalah obat dan berobat adalah mandub. Namun, jika terbukti jenis terntentu dari vaksinasi itu membahayakan, seperti bahannya rusak atau membahayakan karena suatu sebab tertentu maka vaksinasi dalam kondisi seperti ini menjadi haram, sesuai kaedah dharar yang diambil dari hadits Rasulullah saw yang telah dikeluarkan oleh imam Ahmad id Musnad-nya dari Ibn Abbas, ia berkata: Rasulullah saw bersabda: "Tidak boleh membahayakan orang lain dan diri sendiri.
Saat ini kita memang sangat sulit untuk menuntaskan permasalah ini, perlu pemerintah yang bertindak. Terbukti, temuan adanya vaksin palsu ini pun baru terbongkar sekarang. Padahal sudah beredar sejak 13 tahun. Sungguh miris!
Namun, sangat disayangkan, pemerintah hanya bertindak sebagai regulator. Sebagai pengawas saja, bukan sebagai pelayan rakyat. Bahkan, dalam pengawasan pun sangat lemah. Sejatinya sebagai pengurus rakyat, pemerintahlah yang harus berperan dalam memberikan pelayanan kemaslahatan masyarakat dengan maksimal, bukan malah sebaliknya.
Di saat pengabaian pengurusan dan kurangnya pengontrolan dalam bidang kesehatan, hal seperti ini begitu mudah terjadi. Maka ada oknum, dalam pengadaan vaksin dan obat-obatan yang melirik unsur keuntungan tender. Berusaha meraup keuntungan besar. Hal ini bisa dengan mudah dilakukan tanpa ketahuan. Ini sungguh meresahkan!
Ketika negara berporos pada sistem kapitalisme dengan liberalisasi dan komersialisasi, akhirnya aspek kesehatan yang sangat vital pun menjadi barang dagangan, jadi jual beli yang menggiurkan bagi oknum pengusaha. Tak lagi mengedepankan pelayanan.
Padahal, menurut Islam kesehatan merupakan salah satu kebutuhan rakyat yang harus dipenuhi. Kesehatan rakyat harus dijamin secara gratis oleh penguasa. Karena ini adalah hak rakyat. Amanah bagi institusi Khilafah Islam untuk mengurusi seluruh aspek kehidupan masyarakat sesuai dengan petunjuk syariah dari Allah SWT.
Dalam pengurusan terkait kualitas, penguasa harus memastikan kehalalan dan ke-thayyiban vaksin tersebut. Khalifah akan melakukan kontrol ketat dalam masalah ini lewat menugaskan Qadhi Hisbah, yang memantau langsung. Apabila terbukti ada oknum yang bermain di dalamnya. Maka, dengan sigap dituntaskan lewat pembinaan dan sanksi takzir tegas, sehingga masalah seperti ini cepat teratasi.
Dalam negara Khilafah, maka akan ada vaksinasi untuk berbagai penyakit yang mengharuskan hal itu, seperti penyakit menular dan sejenisnya. Obat yang digunakan adalah yang bersih dari segala kotoran. Sementara Allah SWT, Zat yang menyembuhkan.
"dan apabila aku sakit, Dialah Yang menyembuhkan aku." (QS asy-Syu’ara’ [26]: 80).
Sudah makruf secara syar’iy bahwa pemeliharaan kesehatan adalah bagian dari kewajiban khalifah termasuk ri’ayah asy-syu’un sebagai praktek sabda Rasul saw: "Imam adalah pemelihara dan dia bertanggungjawab atas pemeliharaannya." (HR al-Bukhari dari Abdullah bin Umar).
Ini adalah nas yang bersifat umum tentang tanggungjawab negara atas kesehatan dan pengobatan, karena merupakan bagian dari pemeliharaan yang wajib bagi negara. Adapun dalil khusus atas kesehatan dan pengobatan. Imam Muslim telah mengeluarkan dari jalur Jabir ia, berkata: "Rasulullah saw mengutus kepada Ubay bin Ka’ab seorang tabib, lalu tabib itu memotong nadinya dan dipanasi dengan benda yang dipanaskan (kay)."
Al-Hakim telah mengeluarkan di Mustadrak dari Zaid bin Aslam dari bapaknya yang berkata: "Aku sakit keras pada masa Umar bin al-Khaththab, lalu Umar memanggil seorang tabib. Tabib itu memberi pantangan makanan kepadaku hingga aku menghisap biji karena kerasnya pantangan."
Rasul saw dalam kapasitas beliau sebagai seorang penguasa mengutus seorang tabib kepada Ubay bin Ka’ab. Umar ra sebagai khalifah Rasyid kedua memanggil seorang tabib untuk untuk mengobati Aslam. Keduanya merupakan dalil bahwa pemeliharaan kesehatan dan pengobatan termasuk bagian dari kebutuhan dasar rakyat yang wajib disediakan oleh negara secara gratis kepada orang di antara rakyat yang memerlukannya.
Demikianlah, Rasulullah hingga para khalifah sesudah beliau juga melakukan pengurusan dalam masalah kesehatan ini. Penyelesaian dalam Islam yang membawa kesejahteraan, sehingga siapa pun orang yang sakit, baik kaya atau miskin, kaum Muslim maupun non-Muslim tetap diberikan pelayanan dengan kualitas terbaik. Termasuk upaya pencegahan penyakit menggunakan vaksin berkualitas.[]
Komentar
Posting Komentar