Langsung ke konten utama

Kekerasan pada Guru, Negara (Gagal) Melindungi?

Oleh: Nor Aniyah, S.Pd

"Guru adalah yang digugu dan ditiru." Kalimat ini menggambarkan bahwa guru, sosok yang mulia. Guru berjasa dalam memberikan ilmu dan penanaman nilai pada diri peserta didik. Guru profesi yang istimewa.

Sosok guru didaulat sebagai orang tua kedua siswa. Ini sungguh posisi yang terhormat. Mengabdi untuk mendidik generasi negeri. Akan tetapi, hari ini posisi tersebut seakan tergerus. Sekarang para guru merasa sulit mendidik dengan sepenuh hati, layaknya anak sendiri. Kerap terjadi hal tak mengenakkan selama guru menjalani profesinya.

Akhir-akhir ini, kerap terjadi berbagai kasus terkait dunia pendidikan. Di antaranya terjadi kekerasan dan kriminalitas terhadap guru. Seperti yang terbaru, pemukulan terhadap Dasrul, guru SMK Negeri 2 Makassar oleh orang tua siswa yang sempat menggegerkan dunia pendidikan kita.

Seakan tidak lagi tercipta hubungan kejiwaan antara seorang pendidik dan anak didik. Nampak telah bergeser. Relasi guru-siswa lebih menonjolkan relasi ‘kontrak bisnis’. Guru dibayar untuk melayani kepentingan siswa. Akhirnya, siswa bebas bertindak semaunya karena sudah merasa membayar mahal. Sehingga tidak mudah menerima nasehat guru yang tidak sesuai harapannya.

Anak didik yang makin hari makin berulah. Tidak bisa hanya ditegur biasa. Untuk pendidikan, guru pun memberikan sanksi yang diharapkan mampu memberikan perbaikan pada sikapnya.

Sikap siswa yang kurang baik memang harus ditegur. Tidak boleh dibiarkan. Karena mendidik siswa pada kebaikan, inilah tujuan dari pendidikan. Namun, kini proses tersebut membuat dilematis kalangan guru. Ya, saat menegur siswa, guru harus berhadapan dengan hukum pidana.

Anggota Komisi X DPR Reni Marlinawati mengakui, saat ini memang sudah ada regulasi perlindungan guru yakni Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 74/2008. Namun, aturan tersebut terkesan berbenturan dengan UU Perlindungan Anak. Oleh karena itu, dalam UU baru nanti akan diatur mengenai batasan sanksi yang bisa diberikan guru kepada anak didik. "Di dalam UU Perlindungan Anak, membentak anak sudah masuk kekerasan," ucapnya (rmol.co.id 15/08/2016).

Kasus kekerasan terhadap guru ini perlu segera solusi tuntas. Pertama harus diteliti penyebabnya. Di antara penyebabnya adalah buruknya komunikasi orang tua dan sekolah, sehingga terjadi kesalahpahaman dalam pendidikan. Dalam hal ini adanya komunikasi dan kepercayaan dalam proses pendidikan dari orang tua siswa kepada pihak pendidik di sekolah.

Saat ini pendidikan telah terwarnai dengan corak sistem kapitalis. Biaya pendidikan semakin mahal, dan hanya kalangan atas yang mampu mengenyam pendidikan berkualitas. Ini sungguh ironis!

Kalau dicermati, dunia pendidikan juga lebih berorientasi bisnis dibandingkan pelayanan dan ketulusan. Guru tertekan sistem. Maka, guru di satu sisi tidak lagi menstransfer nilai, tapi hanya sekadar menyampaikan materi ajar. Di sisi lain, siswa dan orang tua juga hanya mengukur hasil belajar dari capaian materi, bukan pembentukan perilaku dan karakter. Karenanya, orang tua mudah emosional ketika anak mendapat hukuman dari gurunya. Hingga terjadi tindak kekerasan terhadap guru yang bersangkutan.

Ternyata negara masih gagal dalam memberi perlindungan guru. Pertama, UU guru dan dosen yang melarang tindak kekerasan pada guru masih ambigu implementasinya, dan kedua ada kontradiksi makna kekerasan dengan UU Perlindungan Anak. Masih terjadi kurang sinkron antara UU Perlindungan Anak dan PP soal guru tersebut. Sehingga peraturan yang dibuat pemerintah tersebut saling tumpang tindih, bahkan bertentangan.

Sangatlah urgen adanya titik terang terhadap perlindungan guru dalam menjalankan profesinya ini. Karena gurulah yang berperan dalam mencerdaskan masyarakat. Dari gurulah terlahir generasi pembangun negeri. Pemerintah mesti menata peraturan dan sistem pendidikan agar selaras dengan tanggung jawab mulia ini.

Terkait pengaturan sistem pendidikan oleh negara, sebenarnya kita pernah dicontohkan tentang sebuah sistem yang mampu mencetak generasi pembangun peradaban. Sistem ini dicontohkan langsung oleh Rasulullah saw dan para khalifah sesudahnya, yaitu sistem pendidikan Islam.

Islam telah mewajibkan negara untuk melindungi, memuliakan guru sekaligus memberikan hak-hak anak didik. Sistem pendidikan Islam yang diterapkan Khilafah Islamiyah mampu membuktikannya selama 14 abad ketika masa kejayaan Islam. Sistem inilah yang melahirkan generasi berkualitas seperti Ibnu Sina, Al-Khawarizmi, Al-Farabi dan Imam Syafi’i.

Berdasarkan sistem pendidikan Islam, Khalifah diwajibkan untuk menyelenggarakan pendidikan berkualitas dan gratis hingga jenjang perguruan tertinggi bagi semua warga negaranya. Semua itu sebagai investasi untuk pembangunan masa depan negara pula.

Dalam pandang Islam, guru memiliki posisi mulia. Masyarakat dan negara menyambutnya dengan penghargaan tinggi. Sebagai pendidik, guru menyampaikan tsaqofah dan keilmuan bagi kehidupan.  Ia membentuk anak didik memahami hakikat keberadaannya sebagai hamba Allah SWT, menjadikan generasi berkepribadian mulia, serta mampu membangkitkan masyarakat.

Guru memiliki peran yang penting. Tak hanya sebagai penyampai materi pelajaran (tranfer of knowledge), tetapi juga sebagai pembimbing dalam memberikan keteladan yang baik (transfer of values). Sehingga guru harus menjadi panutan yang profesional.

Guru pun perlu nyaman mengajar, tanpa merasa terbebani apalagi terancam nyawa. Agar mampu memaksimalkan dalam melakukan pendidikan generasi penerus bangsa. Dalam hal ini, penguasa wajib memberikan perlindungan dan kesejahteraan yang layak. Seperti dicontohkan pada masa kekhilafahan Umar bin Khatab, seorang guru digaji 15 dinar setahun.

Selain itu, dalam pendidikan keterlibatan orang tua juga harus ada. Orang tua berperan serta bersama guru dalam penanaman akidah dan kepribadian mulia anak didik. Orang tua pun menanamkan ketakwaan, kecintaan pada ilmu dan rasa hormat terhadap guru.

Para ulama ahli haqiqat pernah menuturkan bahwa, "Mayoritas ilmu itu diperoleh sebab kuatnya hubungan baik antara murid dengan gurunya." Oleh karenanya, kesuksesan seorang anak didik dalam memperoleh ilmu yang bermanfaat, tidak hanya ditentukan oleh lembaga pendidikan, metode mengajar guru, atau sarana prasarana fisik dan belajar, tapi yang juga berperan dominan ditentukan oleh akhlaknya terhadap guru yang mendidiknya. 

Patutlah kita meniru kepribadian para ulama terdahulu. Misalnya, Imam Nawawi. Ketika hendak belajar kepada gurunya, beliau selalu bersedekah di perjalanan dan berdoa, "Ya, Allah, tutuplah diriku dari kekurangan guruku, hingga mataku tidak melihat kekurangannya dan tidak seorangpun yang menyampaikan kekurangan guruku kepadaku." (Lawaqih al-Anwaar al Qudsiyyah: 155).

Demikianlah di antara pengaturan yang sempurna dalam sistem pendidikan Islam. Tatkala terjalin sinergi antara negara, sekolah dan keluarga, pendidikan generasi akan berjalan sesuai visi misi pendidikan yang diimpikan. Kiranya, perlu peran bersama untuk mewujudkannya. Sehingga akan tercapai tujuan pembentukan kepribadian generasi melalui pendidikan.[]

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Peran Perempuan Mengembalikan Kepemimpinan Islam

Oleh: Nor Aniyah, S.Pd* Perempuan dan anak pun menjadi kelompok yang paling rentan terhadap tindak kekerasan, diskriminasi, dan eksploitasi. Problematika yang kompleks dan memilukan yang dialami kaum perempuan hari ini merupakan buah diterapkan sistem bathil, Kapitalisme-Demokrasi. Fakta yang ada, menunjukkan sistem ini telah mengeksploitasi kaum perempuan di seluruh dunia demi menghasilkan pendapatan negara dan melipatgandakan keuntungan bisnis para Kapitalis.  Tak peduli bila harus mengorbankan kehormatan dan kesejahteraan perempuan. Sistem Kapitalis-Sekuler telah membawa seluruh manusia ke dalam kesengsaraan, termasuk juga kaum perempuan. Sebab, Kapitalisme hanya mengukur partisipasi perempuan dalam pembangunan bangsa sekadar dari kontribusi materi.  Rasulullah Saw pernah bersabda: “Sesungguhnya al-imam (khalifah) itu merupakan perisai, di mana (orang-orang) akan berperang di belakangnya dan berlindung dengan (kekuasaan)-nya.” (HR. Al-Bukhari, Muslim, Ahmad, Abu Dawud, dll)...

"No, Comment!" Boleh Nggak Ya?

by Nor Aniyah Pernah dengar nggak reaksi orang-orang kalau ditanya atau dimintai tanggapan? Biasanya sih banyak di antara mereka yang bilang, "No, comment.. No, comment!" Sebenarnya apa sih artinya itu? Nah, biasanya neh "No, comment" ini artinya identik dengan "nggak ada komentar deh." Oke, oke aja. Atau "terserah kamu saja deh!" Ini bisa jadi terkesannya, kamu-kamu, aku-aku. "Lue, gue" gitu. Wah, kira-kira nih, yang begini, boleh nggak ya? Oke, Muslimah, kalau sekali-kali mungkin boleh lah kamu berujar kayak gitu. Misalnya, saat buru-buru. Mau ada urusan dulu. Tapi, kalau keterusan, ini bisa bahaya juga! Lho kok, gitu? Iya. Kalau keterusan, alamat kamu harus hati-hati. Apalagi dilakonin sama kaum muda sepertimu. Waspadalah! Bisa dibilang terlalu sering "no coment" itu, alarm kalau kita cenderung sudah nggak mau tahu. Rasa peduli kita sudah mulai luntur. Jangan-jangan, nama tetangga di samping rumah saja nggak tahu? Gaw...

Ketika TKA Masih Ada di Banua

Oleh: Nor Aniyah, S.Pd* Media sosial sempat dihebohkan dengan viralnya video rombongan warga negara asing (WNA) tiba di Bandara Syamsudin Noor Banjarmasin. Para WNA itu terekam keluar dari terminal kedatangan, kemudian naik ke sebuah bus. Dalam video berdurasi 11 menit 27 detik tersebut, si perekam menjelaskan bahwa puluhan warga asing itu diduga berasal dari Tiongkok. Karena memiliki ciri-ciri mirip dengan orang-orang dari negara Asia Timur, yaitu berkulit putih dan bermata sipit (kalsel.prokal.co, 27/02/2019). Kepala Kantor Imigrasi (Kanim) Kelas I TPI Banjarmasin, membenarkan kedatangan TKA asal China yang akan bekerja PT Merge Mining Industry (MMI). Namun, ia menyebut jumlahnya hanya 22 orang dan telah memiliki kartu izin tinggal terbatas (KITAS). Menurut dia, TKA asal Negeri Tirai Bambu itu merupakan pekerja yang dirolling PT MMI yang sebelumnya sudah dideportasi otoritas imigrasi. Ia memaparkan di Kalsel PT MMI merupakan perusahaan yang paling banyak mempekerjakan TKA yakni berju...