Oleh: Nor Aniyah, S.Pd
Suatu sore dalam perjalanan mau berkunjung ke rumah teman. Tepatnya, di sekitar jalan Pahlawan, Kandangan, saya melihat dua remaja putra berboncengan naik motor. Salah satunya, remaja yang tengah membonceng, ia mengenakan kaos berwana hitam dengan tulisan mencolok berbunyi, "Kita dikenal dari musang. Kita di sini karena musang. Kita bersama berkat musang." Seolah slogan ini menjadi kebanggaan baginya. Tapi mengherankan kenapa "musang"? Merasa keren mengatasnamakan si hewan berekor panjang yang suka maling ayam. Aduhai generasi! Nyeleneh. Ada-ada saja.
Saat ini sering kita temui fenomena persoalan generasi yang semakin mengkhawatirkan. Muncul istilah-istilah baru terkait remaja. Ada remaja "Alay" yang bertingkah usil bin aneh, rela membuka aib diri demi eksistensi. Dan kini muncul juga istilah generasi "Awkarin" yang dilabeli sebagai generasi dengan karakter dan identitas yang cenderung negatif, namun justru dianggap baik dan dikagumi remaja.
Di media sosial, sedang trending pembicaraan tentang vlogger bernama Karin Novilda, gadis 19 tahun yang baru lulus SMU. Awkarin adalah selebgram, seleb Ask (Askfm), dan vlogger dengan subscriber mencapai hampir 150 ribu. Sekilas, Karin remaja biasa saja. Bedanya, ia dianggap cool oleh anak-anak seumurannya karena ia punya banyak teman, pacar ganteng dan kaya, sudah bisa cari uang sendiri sejak usia 16 tahun. Selain itu, ia punya kehidupan yang bebas. Hal ini terlihat dengan gayanya yang tak sungkan memperlihatkan diri sedang merokok, minum alkohol, bertato, dan gemar berpesta di media sosial (femina.co.id 25/07/2016).
Anak muda kini tampaknya makin bebas mengikuti gaya kekinian. Aktivitas sia-sia yang dianggap lelocun sebatas untuk pengeksisan diri pun digandrungi. Ikut-ikutan trend selfie yang kebablasan, gank, atau anak jalanan. Terpengaruh teman dan tontonan. Apalagi pengaruh gadget memang luar biasa, bisa menyelami dunia tanpa batas. Ini dampak tidak adanya lagi filter-filter, sehingga bisa masuk ke dalam diri seseorang, tak terkecuali generasi muda.
Tak sekadar membuat candaan dengan sadar mempermalukan diri sendiri atau orang lain. Namun kini, remaja mulai berani pada pelecehan hal yang suci, pelecahan agama. Seperti kasus yang baru terjadi. Mungkin dengan maksud bercanda, enam remaja warga Kampung Sritejokencono, Kecamatan Punggur, Lampung Tengah (Lamteng), harus berurusan dengan pihak kepolisian. Tidak lain karena perilaku yang telah melecehkan agama Islam dengan mem-posting foto yang memeragakan salat tanpa baju dan menenteng kotak amal hanya mengenakan celana dalam di Masjid At-Taqwa (indopos.co.id 24/07/2016).
Remaja pencari perhatian. Nampaknya, para remaja tengah berusaha untuk menyalurkan ekspresi dan eksistensi mereka. Demi mendapatkan perhatian. Bisa jadi karena kurang perhatian keluarga. Atau penghibur dari kepenatan dan beban banyak tugas, PR dan ekskul yang dihadapi.
Mencari kesenangan, hingga mencari penghasilan. Ini dianggap sah-sah saja oleh mereka. Bisa jadi terpikir, “Buat apa belajar dan bekerja keras. Toh, tanpa susah-susah belajarpun bisa menghasilkan uang sambil berhura-hura lewat dunia maya.” Seperti para idola mereka. Mengekspos keseharian tanpa rasa ragu dan malu lagi lewat media. Hingga agama yang dianggap paling sakral sekalipun, dengan entengnya berani mereka remehkan juga.
Perlu kita cermati, kemajuan teknologi memang juga menimbulkan efek negatif, bila tidak mampu menggunakannya secara bijak. Akibatnya, lupa diri dan batasan. Terlebih tidak adanya filter dari penguasa yang melindungi, jadinya makin amblas.
Remaja menjadi generasi pengikut dengan identitas kepribadian yang kabur. Generasi ini sudah terbentuk dengan gaya hidup hedonis, oleh sistem sekuler liberal ala kapitalis, yang memuja kebebasan. Tanpa sadar, generasi bangsa kita bergerak menuju jurang kehancuran peradaban.
Harusnya fenomena ini bisa membuka mata kita. Memunculkan banyak pertanyaan. Diantaranya, apa yang terjadi dengan anak-anak kita? Apakah ada yang salah dalam pendidikan kita? Kenapa mereka bisa terjerumus seperti ini? Dan bagaimana caranya menyelamatkan generasi kita? Tentu ini menjadi harapan bersama. Agar tidak muncul lagi generasi "alay" dan "awkarin" serta perilaku remaja yang lebih kontroversial.
Tentu, kita semua harus menyadari bahaya dalam fenomena ini. Baik selaku orang tua, pendidik dan generasi. Bagi orang tua dan pendidik, perlu ekstra perhatian dan memperbaiki pola asuh serta pendampingan terhadap anak didik agar tak terjerat dalam perilaku demikian. Adapun sebagai sang generasi, juga patut menyadari bahwa perilaku “alay” dan “awkarin” ini bukanlah hal yang terpuji dan layak diteladani. Semua pihak harus dipahamkan mana standar menilai yang baik, benar dan terpuji sesuai aturan Islam.
Dalam mengatasi persoalan generasi pastinya tidaklah cukup sampai di sini. Kiranya perlu peran utama pemerintah. Pemerintah sudah semestinya menindak lanjuti secara serius. Perlu evaluasi mendasar pada sistem pendidikan, yaitu dengan kurikulum yang dapat mengantisipasi hancurnya generasi negeri.
Kalau membuka kembali lembaran sejarah, sebenarnya kita punya gambaran jelas bahwa kita pernah punya generasi terbaik. Generasi para Imam besar dan ilmuan terkenal, sekelas Imam Syafi'i, Imam Ghazali, Al-Kindi, Ibnu Shina yang hidup pada masa kekhilafahan. Mereka generasi terbaik kaum Muslimin sepanjang zaman. Mereka itu bisa diistilahkan dengan generasi auliya.' Nah, bagaimana dengan generasi "auliya" ini?
Dalam tafsir Ibnu Katsir, Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah, membawakan penjelasan tentang generasi auliya':
"Allah Ta'ala memberitakan bahwa auliya'-Nya adalah orang-orang yang beriman dan mereka bertakwa sebagaimana Rabb mereka menafsirkan tentang mereka. Sehingga setiap orang yang bertakwa, ia akan menjadi waliyullah, yaitu tidak khawatir terhadap apa yang akan mereka hadapi dari keadaan yang mencekam pada hari kiamat nanti dan tidak pula bersedih atas apa yang mereka tinggalkan di belakang mereka dalam dunia ini."
Sudah menjadi kewajaran, generasi auliya' lahir dalam susana keimanan dan ketakwaan berkat sistem kondusif yang diterapkan negara. Yaitu, pengkondisian keimanan dan ketakwaan oleh negara secara menyeluruh dalam seluruh aspek kehidupan baik pada diri pribadi, lingkungan masyarakat hingga bernegara sesuai dengan syariah-Nya. Ini hanya mampu terealisasi dalam sistem Islam dengan naungan institusi Khilafah Islamiyah pula.
Menurut Islam, peran paling strategis dalam membentuk kepribadian generasi ada pada negara melalui sistem pendidikan. Maka pendidikan haruslah berasaskan akidah Islam, sehingga mampu membentuk generasi yang berkepribadian Islam (syakhshiyyah Islamiyyah), serta mampu menguasai tsaqafah Islam dan ilmu-ilmu kehidupan (iptek dan keahlian).
Selain itu, pemerintah juga berperan dalam menata media. Negara bertanggungjawab agar media bersih dari konten pornografi, tayangan tidak mendidik, dan unsur perusak generasi lainnya. Khalifah juga berkewajiban mengontrol, agar media tidak kontraproduktif terhadap pembinaan generasi. Media mesti mendukung pembinaan generasi ini.
Jadi, pertanyaannya sekarang, generasi seperti apa yang ingin kita bentuk? Generasi alay, awkarin atau auliya'? Ini adalah tugas besar bagi kita semua. Tugas besar mewujudkan generasi terbaik untuk membangun peradaban cemerlang di masa depan.[]
(*Seorang pendidik, tinggal di Kandangan, HSS, Kal-Sel
*Dimuat di Radar Banjarmasin, 16/08/2016
Alhamdulillah, salah satu tulisan opini yang baik adalah mampu membawa pembaca untuk mengikuti logika penulisnya. Tulisan ini memiliki hal itu. Lanjutkan!
BalasHapus