Oleh: Nor Aniyah, S.Pd
Kaum muda saat ini sangat suka game yang berbagai macam jenisnya. Selalu siap untuk bermain dan bertarung. Mental ingin menjadi pemenang dalam tiap pertempuran. Menjadi yang terkuat. Menjadi kesatria terhebat. Tapi, kalau bertarung di peperangan yang beneran, berani atau nggak?
Kalau berani ada satu arena sangat nyata. Mencekam. Remaja belasan pun tengah menghadapinya. Mereka hidup dikejar-kejar musuh. Berlari menyelamatkan diri. Bertahan agar tidak mati.
Tak kurang dari 400 orang dari semua kalangan, orang tua hingga anak-anak, laki-laki dan wanita, tewas hanya dalam sepekan. Mereka tidak berdaya. Nyawa begitu mudah dihilangkan di sana.
Semua itu dialami oleh saudara kita, kaum Muslim Rohingya, Myanmar. Mereka menghadapi peperangan sungguhan. Berperang tanpa senjata. Seperti diburu, seperti hewan oleh kalangan militer dan polisi Myanmar, berkolaborasi dengan para pengikut Budha radikal dan ekstrem kejam.
Tragedi kemanusiaan. Didorong oleh konflik. Upaya pembenturan agama dan kepentingan ekonomi yang tengah bekerja. Lahan yang dikuasai oleh kapitalis yang kejam. Akhirnya, penduduk asli Rohingya mengalami genosida dan diusir secara paksa.
Ketika mendengar ini apakah para "Gamer" berani bersuara? Kalau yang kita dengar, ada para superter bola yang telah beraksi. Para "Bobotoh" menyampaikan wujud kepedulian dengan memampangkan tulisan "Save Rohingya." Akan tetapi, sangat disayangkan , kepedulian itu malah dikenakan denda. Kepedulian kok diganjar hukuman? Patut menjadi pertanyaan, salahkah bila menunjukkan kepedulian?
"Untuk apa susah-susah menolong? Kita sendiri saja kesulitan." Memang ada saja yang merasa tidak peduli. Jangankan bersimpati, malah mencemooh. Karena tidak pernah mau tahu dan merasa tidak akan terjadi padanya. Semoga tidak ada lagi yang seperti ini. Sebab, bagaimana nanti sikap kita dan apa yang kita lakukan akan ditanya di yaumil hisab. Telah berbuat apa untuk saudara yang kesusahan?
Kalau ditilik dari segi kemanusiaan biasa, sangatlah wajar untuk prihatin. Terlebih lagi sebagai muslim wajib untuk peduli dan merasakan yang dialami saudara kita. Mereka punya hak yang harus ditunaikan, sebagaimana sabda Rasulullah saw:
"Seorang Muslim adalah saudara bagi Muslim lainnya. Ia tidak boleh menzalimi Muslim yang lain dan tidak boleh menyerahkan dirinya kepada musuh. Siapa saja yang memenuhi kebutuhan saudaranya niscaya Allah memenuhi kebutuhannya. Siapa saja yang meringankan kesulitan seorang Muslim niscaya Allah meringankan dari dia satu kesulitan di antara banyak kesulitan pada hari Kiamat. Siapa saja yang menutupi aib seorang Muslim niscaya Allah menutupi aibnya pada Hari Kiamat." (HR al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, at-Tirmidzi dan Ahmad).
Masalah sebenarnya bagi Muslim Rohingya adalah tiada tempat yang aman untuk berlindung. Berdiam diri dibunuh. Melawan dianggap teroris. Seperti buah si malakama. Mau berbuat apa? Lari pun sulit yang mau menampung. Sebagian besar wilayah menolak. Tinggal perahu terombang-ambing terbawa arus di lautan. Ini menambah makin miris perjuangan mereka.
Tak cukup sekadar sedih. Berbuatlah yang kita bisa. Mulai berdoa, mengecam hingga memberikan sumbangan obat dan makanan. Yang terutama mendesak para penguasa untuk sama-sama mengambil tindakan nyata. Ayo, selamatkan saudara Rohingya! Yaitu dengan cara mengirimkan tentara dan membuka pintu-pintu perbatasan. Kiranya itu yang mendesak dilakukan.
Menyumbangkan uang, obat-obatan dan bahan makanan, tidak salah. Membantu membebaskan penderitaan secara fisik ini yang lebih nyata. Buktinya, bantuan kemanusiaan seperti obat-obatan dan bahan makanan tidaklah cukup berarti. Kadang semua tertahan, tidak diizinkan melewati perbatasan. Yang terjadi sudah demikian parah. Perlu kiranya segera diselamatkan jiwa yang tidak bersalah.
Namun, siapa yang mau membuka perbatasan? Adakah yang mau maju jadi tentara. Masyarakat yang punya hati banyak yang menyatakan bersedia. Namun, para pemimpin yang ada masih tidak mengizinkan. Hingga semua tidak kuasa berbuat apa-apa.
Kini semacam ada jarak antara keinginan Ummat dengan penguasa. Ditambah juga jarak antar kaum Muslim di berbagai belahan dunia. Batas-batas dan sekat-sekat wilayah sepertinya membuat kaum Muslim terbelah.
Jarak inilah yang penting untuk dihilangkan. Bahwa semua adalah bersaudara, umat manusia, terlebih saudara dengan akidah yang satu. Dulu pun pernah bersatu di bawah pimpinan Rasulullah saw dan para Amirul Mu'minin setelah beliau dalam naungan sistem Islam. Saat itu kaum Muslim terjaga kehormatannya dan punya negara yang berada di garda utama sebagai pembela.
Seperti kisah seorang Muslimah yang dianiaya pasukan Romawi. Maka, majulah Khalifah al-Mu'tashim Billah dengan puluhan ribu pasukan yang luar biasa. Sehingga takluklah Amuria, demi menjaga kehormatan wanita tersebut.
Hanya ikatan ukhuwah, persaudaraan sejati yang harus kembali dijalin dan dipegang kuat. Kesamaan perasaan dan pikiran. Memupuk ikatan dalam persaudaraan Ukhuwah Islamiyah.
Kemauan untuk menolong saudara yang mengalami penderitaan. Hal ini harus terus kita bangun pada diri dan orang sekitar. Semoga hati masyarakat tergerak untuk merasakan. Kemudian bersama suarakan kepada para pemimpin dunia untuk memberikan pembelaan. Agar tragedi ini segera diakhiri. Marilah, ambil tindakan!
Jadi, kepada para pemuda masih adakah rasa peduli saudara Muslim Rohingya? Mungkin saat ini remaja kita sedang asyik bermain game, bertarung melawan monster yang ganas tapi semua hanya bohongan. Kaum Muslim Rohingya, kini mereka tengah berada dalam medan pertaruhan nyawa yang sebenarnya. Mereka masih menanti kesatria sejati untuk membela, menyelamatkan dan membebaskan penderitaan mereka.[]
*) Pemerhati Remaja, Pembina Komunitas Remaja Cinta Quran
Dimuat di: Radar Banjarmasin
Komentar
Posting Komentar