Oleh: Nor Aniyah
Tukang
bohong saja berani menyampaikan kata-kata sekehedak hatinya. Kok yang benar
nggak berani? Kini terus dan sering kita jumpai dalam kehidupan, orang-orang
yang berkata tapi tidak memperhatikan akibat lisannya tersebut. Siapa lagi
kalau bukan orang yang obral janji. Bermuka polos dan tampang merakyat, tapi
cuma pas ada maunya. Padahal mereka mangkir janji, membuat rakyat makin
melarat. Yang sudah mereka janjikan, tidak ada lagi tanda-tanda akan dibuktikan
ketika sudah mendapat kekuasaan.
Mau
ngomong yang benar kok dibikin susah? Memang mulut tanpa pagar, jadi
tugas akal untuk me-rem, menentukan mana yang baik atau tidak untuk diucapkan.
Ingatlah, semua yang dikatakan pasti akan minta dipertanggungjawabkan.
Kala ada yang menyampaikan
kebenaran kok dihalang-halangi? Katanya demokratis, tapi nyatanya itu hanya
klaim untuk mengamankan posisi mereka. Saat ada yang kritis malah coba untuk
diberangus.
Sekarang
Umat sudah cerdas, tidak bisa dibohongi dan diperlakukan sekehendaknya yang
berkuasa. Bukankah kekuasaan itu dapat bertahan karena ada dukungan dari Umat?
Kalau Umat sudah tidak percaya dan tidak mau mendukung lagi, bagaimana mungkin
mereka bisa tetap menjabat?
Sederhananya,
masyarakat hanya mau dilayani sebagaimana yang mestinya. Tidak berlebihan.
Sudah jelas ada aturannya seperti ini, dalam mengurus masyarakat, tidak bisa seenaknya.
Ada
saatnya umat menuntut. Mulai berani menyuarakan kebenaran, yang telah dipahami
dengan kenyataan yang dihadapi. Makin hari, makin sengsara saja. Harga yang
mahal, serba sulit, dan urusan pelayanan yang membelit. Tentu rakyat ingin
bicara, menyampaikan keadaan tersebut. Karena rakyat paham, hak mereka untuk
diurusi secara baik oleh pemangku kekuasaan.
Anehnya,
sekalinya rakyat bicara, malah dituduh makar. Mau memberontak sama penguasa?
Kita kan dalam Islam ada disuruh untuk melakukan korekasi, bahwa semua rakyat
memang wajib melakukan muhasabah penguasanya. Supaya pemerintahan berjalan
lurus, dan membawa kesejahteraan bagi negerinya. Muhasabah ini adalah kewajiban
semua. Semua ini wujud peduli rakyat pada Negara,
demi kebaikan bersama.
Yang
membingungkan adalah tindakan yang kerap bertentangan yang diambil penguasa.
Misalnya, situs-situs internet yang membawa pada kebaikan ditutup, terutama
bernuansa Islam. Sedangkan situs-situs pornografi perusak moral kok dibiarkan
terus berseliweran? Yang aneh lagi, orang baik dituduh jahat. Orang yang mau
sama-sama memperbaiki kehidupan juga dituduh melakukan makar untuk menjatuhkan.
Wah, coba pikir kalau tidak ada lagi yang diperbolehkan mengoreksi, bisa-bisa
hancur negeri ini akibat perbuatan kaum jumawa. Negara mau dibawa ke mana?
Mungkin, neraka dunia.
Satu contoh lagi yang kita dengar, Dwi estiningsih dan Habib
Rizieq dilaporkan ke polisi karena beliau menggunakan istilah kafir (untuk
tokoh non muslim di uang baru) dan menyampaikan kesalahan teologis (dalam
peringatan Natal). Padahal apa yang mereka sampaikan
hanya menjelaskan apa yang menjadi tuntunan agamanya. Mereka malah bisa dikenai
regulasi hate of speech dan UU ITE.
Tampak
ada sebuah dinding tebal, pembatas antara penguasa dan rakyat. Ini tidak bisa
disangkal. Penghalang untuk memisahkan kedekatan penguasa dari rakyat. Kalau
sudah begini, bisa dipertanyakan penguasa mau dekat sama siapa kalau bukan sama
rakyat? Kok, rakyat seperti dihalangi untuk memberikan masukan.
Apakah
aturan yang ada ini sengaja untuk meredam suara rakyat yang vokal? Ini kembali
mengingatkan kita pada peristiwa Orde Baru, yang menggunakan tindakan refresif
untuk membungkam suara rakyat yang tidak sejalan dengan kepentingan rezim.
Akankah akan terulang juga?
Sejak
awal regulasi terkait hate of speech telah mengundang pro kontra. Banyak yang
ikhawatir ini hanya akan menjadi alat pemerintah untuk memberangus lawan
politik dan mematikan ruang kritik terhadap rezim yang berkuasa. Faktanya,
lebih dari itu. Aturan ini juga dimanfaatkan untuk mengekang umat Islam
menyampaikan pandangan-pandangan Islamnya dengan dalih merusak kebhinekaan dan
menyebarkan kebencian Karena unsur SARA. Seolah-olah ajaran Islam adalah sumber
radikalisme, menebar kebencian dan anti kebhinekaan`, dan intolerence.
Dalam
Islam kita diajarkan untuk menyampaikan kebenaran, meskipun itu pahit. Karena
kebenaran (haq) mutlak tegak. Sudah menjadi suatu hal yang alami, setiap insan
akan terus bergerak untuk mengatakan kebenaran. Ditambah lagi, adanya akidah
yang menuntut manusia senantiasa mengikuti dan menyampaikan sesuai
petunjuk-Nya.
Bukti
historisnya juga jelas, suatu masa Kekhilafahan yang tak terlupakan. Yaitu
bagaimana sang Khalifah Umar bin Khattab yang terkenal tangguh, pemberani dan
berwibawa, beliau dengan ikhlas dan
lapang dada menerima koreksi dari seorang rakyat biasa. Bahkan, meski dari
seorang wanita yang berdiri menyampaikan kebenaran di hadapannya. Karena beliau
menyadari bahwa yang terpenting adalah tetap berada dalam kebenaran sejati.
Sehingga siapa saja dipersilakan dengan senang hati untuk mengoreksinya.
Memberikan muhasabah terkait pengurusan yang telah beliau lakukan saat berkuasa
memimpin rakyat. Sehingga dapat transparan dalam pengurusan masyarakat, yang
mampu menghasilkan berbagai kebijakan yang menyejahterakan.
Memang
saat ini cukup jauh dari gambaran ideal tersebut. Umat Islam sedang menjadi
sasaran tembak program-program penyesatan opini dan diarahkan untuk
meninggalkan identitas Islam dalam kehidupannya, dan sasaran moderasi Islam.
Umat seolah dihalangi menyampaikan aspirasi. Dibatasi untuk sekadar memberikan
muhasabah demi kebaikan bersama. Bahkan seolah ada usaha menjauhkan campur
tangan umat dari jalannya pemerintahan. Patutlah rakyat bertanya, penguasa mau
mengapdi pada siapa? Benarkah mengabdi dan cinta negeri? Bila tak berpihak pada
rakyat, maka jangan salahkan umat bila kini mulai curiga ada yang tengah
berkepentingan di belakang penguasa.
Meski
sekeras apapun mereka coba menghalangi, ombak itu akan tetap bergejolak tinggi.
Sekuat apapun menahan, suatu saat akan jebol juga. Jika mereka berusaha untuk
menerjang arus massa yang besar, pastilah kelak akan tenggelam. Umat sudah
mulai bangkit. Menjadi sebuah sunnatullah kebenaran akan tetap memancarkan
sinarnya, meski gelap coba melingkupi.
Umat
akan tetap mengetahui apa yang tersembunyi, cepat atau lambat. Jangan pernah
menghalangi hak bicara Umat. Karena umat sudah lelah untuk berdiam atas segala
tindakan dzalim yang mendera. Umat akan bangkit untuk membela apa yang mereka
yakini. Umat akan terus membela yang mereka percaya dengan segenap raga.
"Dialah
yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang benar agar Dia
memenangkannya di atas segala agama-agama meskipun orang musyrik
membenci." (TQS. ash-Shaff [61]:
9).
WalLahu a’lam. []
Komentar
Posting Komentar