Oleh: Nor Aniyah, S.Pd
Baru saja kita peringati suatu hari penting untuk generasi. Hardiknas, Hari Pendidikan Nasional. Peringatan ini mestinya menjadi refleksi untuk terus berbenah dan melakukan perbaikan. Khususnya, dalam upaya mencetak insan cerdas penerus peradaban.
Hari pendidikan, sejatinya ada bukan hanya untuk diperingati. Tapi, mestinya menjadi ajang untuk dievaluasi. Apakah pendidikan sudah berhasil melahirkan manusia berkualitas pembangun negara? Apakah pendidikan telah mampu memanusiakan manusia atau malah sebaliknya?
Peringatan Hardiknas kita kali ini rupanya diiringi dengan maraknya tawuran antar pelajar. Seperti, kasus dua kelompok pelajar dari dua sekolah berbeda di Kabupaten Kendal, Jawa Tengah, terlibat tawuran menggunakan senjata tajam, 19 April. Seorang pelajar tewas, sementara satu lainnya mengalami luka terkena sabetan senjata.
Lalu, terungkap pula ulah belasan siswa sekolah dasar (SD) di Purwakarta, Jawa Barat yang hendak tawuran. Mereka hendak menyerang siswa SD yang berbeda sekolah. Peristiwa tersebut terjadi pada Jumat 20 April 2018 sekitar pukul 10.00 WIB, masih jam sekolah.
Kemudian, juga ada kasus puluhan remaja terlibat tawuran di kawasan Manggarai, Jakarta Selatan, Minggu (22/4/2018). Para pemuda tanggung itu saling lempar batu dan membawa senjata tajam. (https://m.liputan6.com/news/read/3477452/tawuran-di-manggarai-sejumlah-remaja-adu-sajam-dan-lempar-batu)
Bahkan ada satu lagi yang cukup mengherankan, yaitu ajakan penguasa untuk nonton bareng film bernuansa “gaul bebas”. Padahal, jelas-jelas hal itu mempromosikan bebasnya perilaku, membahayakan karakter generasi. Tidak patut untuk ditiru, serta minim dari unsur pendidikan.
Rasanya, masih banyak PR yang harus diselesaikan buat pendidikan kita. Maraknya kembali tawuran di tengah peringatan Hardiknas dan nobar film “gaul bebas tersebut bisa menunjukkan pada kita potret buram output dunia pendidikan akibat buruknya pengurusan oleh penguasa sekuler. Mereka hanya haus akan pencitraan dan minus dalam visi membangun peradaban generasinya.
Namun, sayangnya hal ini semakin diperparah dari segi keadaan guru dan siswa yang keadaannya memprihatinkan. Kenyataan masih jauh dari harapan. Guru masih belum semuanya mampu jadi pendidik yang baik, dan sebagian siswa pun tak punya karakter sebagai orang terdidik.
Para guru tengah disibukkan dengan peliknya urusan administrasi yang harus dilengkapi, untuk mendapatkan gaji. Akhirnya, perhatian guru-guru kita hanya terpusat ke sana. Tenaganya habis terkuras, sehingga kebanyakan saat masuk ke kelas paling hanya memberikan tugas. Layaknya sebagai “kontrak kerja.”
Masih tinggi pula tingkat kecemasan orang tua terhadap guru yang menghukum yang tidak manusiawi, menggampar, menendang, dan tindak kekerasan fisik kerap terjadi. Masih bergentayangan oknum guru tak bermoral, tega melakukan pelecahan seksual. Fedofilia, LGBT, dan bertindak bejat terhadap siswa, yang harusnya dilindungi dan dibina.
Perilaku para siswa pun makin bablas kelewat batas. Tidak berakhlak terhadap guru, bolos, tawuran, mem-bully, membuat video mesum, memukul teman, hingga membunuh guru.
Kenapa bisa terjadi? Sebab, siswa dan guru sama-sama belum punya habitat menuntut ilmu yang kondusif. Kehidupan saat ini tengah dijiwai nilai sekuler. Aturan agama dipisah dari ranah publik. Sehingga tiada keterkaitan antara ilmu yang didapat dengan keseharian.
Di sekolah diajarkan nilai-nilai, di luar sekolah nilai-nilai itu ditanggalkan. Terlebih nilai dan ajaran agama. Sehingga, amat mudah terseret pada arus kemaksiatan dan keburukan semacam tawuran, pacaran, porno aksi, pornografi, dan beragam kenakalan remaja lainnya.
Yang makin pilu, output sistem pendidikan pun masih dalam antrean "pengangguran terdidik." Ilmu yang didapatkan di bangku pendidikan seakan tidak terpakai. Sebab, penguasa lebih memilih sayang tenaga kerja asing dari luar negeri, ketimbang tenaga kerja dari anak bangsa sendiri.
Hal ini tentu sangat berbeda dengan amanat Rasulullah saw kepada kita dalam sebuah hadits: “Menuntut ilmu itu wajib atas setiap Muslim. (HR. Ibnu Majah).
Kalau dibandingkan dalam sudut pandangan sistem Islam. Islam sangat memperhatikan dunia pendidikan. Sebab, telah disadari bahwa menuntut ilmu itu sebuah kewajiban. Ilmu, cahaya penerang. Berbekal ilmu kita bisa menapaki jalan yang benar dalam kehidupan.
Dalam Islam, sistem pendidikan menjadi pilar utama peradaban yang wajib dilaksanakan oleh penguasa bersamaan dengan sistem aturan lainnya. Tujuannya untuk membentuk kepribadian mulia (syakhsiyah Islamiyah) dan para pemimpin umat yang berdedikasi tinggi bagi rakyat.
Agar mendapatkan ilmu perlu guru. Tentunya guru yang kompeten dan mampu jadi teladan. Guru dengan keahlian dan pengabdian sejati mencerdaskan anak negeri.
Sebagai seorang siswa juga diajarkan adab. Menghormati guru, melaksanakan tugas dan serius memperhatikan penjelasan gurunya. Karena berkahnya ilmu terletak pada adab terhadap guru yang mendidik mereka.
Lalu berhasilkah sistem pendidikan Islam saat masa dulu? Kalau kita lihat sejarah, saat sistem Islam diterapkan dengan mencontoh Rasulullah, banyak terlahir nama ilmuan dan ulama besar yang berkualitas. Tidak hanya satu tapi puluhan hingga ratusan jumlahnya. Yang karya mereka masih menjadi referensi sampai saat ini.
Itulah penghargaan Islam terhadap ilmu pengetahuan. Semua tahu akan pentingnya ilmu bagi kehidupan. Pada masa kegemilangan Islam pendidikan sangat diperhatikan. Baik guru maupun siswa, difasilitasi dan dibekali ilmu dan takwa sehingga hasilnya tidak diragukan lagi, mampu mengaplikasikan ilmu membangun peradaban digdaya.
Oliver Leaman pun dengan jujur menuturkan kondisi kehidupan intelektual pada zaman Kekhilafahan Bani Umayah (661-750 M) tentang kemajuan sains dan teknologi di Andalusia yang dirasakan masyarakat Eropa kala itu “... Pada masa peradaban agung di Andalus, siapapun di Eropa yang ingin mengetahui sesuatu yang ilmiah ia harus pergi ke Andalus. Di waktu itu banyak sekali problem dalam literatur Latin yang masih belum terselesaikan, dan jika seseorang pergi ke Andalus maka sekembalinya dari sana ia tiba-tiba mampu menyelesaikan masalah-masalah itu. Jadi, Islam di Spanyol mempunyai reputasi selama ratusan tahun dan menduduki puncak tertinggi dalam pengetahuan filsafat, sains, tehnik dan matematik. Ia mirip seperti posisi Amerika saat ini, di mana beberapa universitas penting berada.”
Nah, seperti itulah sedikit gambaran sistem pendidikan Islam dan output generasi cemerlang, serta peradaban emas yang berhasil diwujudkan. Bahkan, dunia Barat pun mengakui. Para generasi ilmuan dan ulama Muslim telah memberikan kontribusi besar bagi peradaban modern saat ini. Maka, harusnya kita pun terdorong untuk mengulangi kegemilangan itu kembali.[]
*) Pegiat Komunitas Muslimah Banua Menulis.
Dimuat di: Radar Banjarmasin (05/05/2018)
Komentar
Posting Komentar